Rosa Widyawan
Abstrak
Pemustaka millenial yang menjadi kelompok utama pemustaka dengan kebutuhan atau minat informasi yang spesifik, dan kemungkinan memerlukan pelayanan yang spesifik pula. Dalam menghadapi masalah ini, pustakawan perlu mengasah kompetensi mereka. Makalah yang dimaksudkan untuk membangun diskusi pemustaka orang muda ini menyajikan ciri-ciri kaum Digital Native, kemungkinan munculnya masalah yang dihadapi perpustakaan, dan menawarkan jalan keluar, yakni memperkuat kompetensi pustakawan
Keywords: Young adult library users// Library services//Social Networking// Librarian competency.
Pendahuluan
Orang muda (berusia antara 15 – 39 tahun) saat ini mendominasi pektrum demografis Indonesia. Inilah generasi millennial atau generasi Y, generasi digital native, atau disebut juga Echo Boom generation dilahirkan pada kurun 1980-2001, yang saat ini sedang berada di sekolah, universitas dan menginjak dewasa.
Salah satu hal yang menakjubkan terjadi pada masa remaja adalah perkembangan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi, dan mengembangkan kepribadian serta pemikiran kritis. Oleh karena itu muncullah karya-karya unggul dalam bidang sains dan teknologi melalui berbagai olimpiade, bidang ekonomi terutama industri kecil dan menengah, dan bidang seni rupa maupun seni panggung. Prestasi ini salah satu pengaruh positif globalisasi. Dalam hal adaptasi terhadap teknologi komunikasi dan informasi, memang kaum digital native lebih adaptif. Hal ini tidak mengherankan, karena mereka dikelilingi teknologi digital sejak bayi, sementara yang lain tumbuh dan mempunyai pengalaman luas berkaitan dengan Web dan teknologi informasi lain. Konsekwensinya, orang muda mempunyai gaya mencari dan menggunakan informasi yang berbeda seperti apa yang digambarkan oleh Prenski (2001) bahwa perbedaan yang mencolok adalah dalam pemahaman teknologi informasi. Digital Native yang saat ini sedang berada di sekolah, universitas dan menginjak dewasa, berinteraksi dengan generasi sebelumnya, yakni para digital migrant. Generasi Migran Indonesia mengenal komputer pada pertengahan dasawarsa 70-an (Mainframe dan Mini Computers), dasa warsa berikutnya mereka baru mendapatkan Personal Computer di pasaran, dan mengenal Internet pada pertengahan dasawarsa 1990-an. Dari segi fisik mereka mulai mengalami degradasi seperti pengeriputan kulit, kebotakan, erectic dysfunction pada lelaki, dan gangguan tulang seperti osteoarthiritis. Boeree (1997) menyebutkan bahwa sebagian orang dewasa mungkin mencapai tahap ini dan menyesali pengalamaman dan kegagalan mereka. Mereka mungkin takut mati karena masih ingin berjuang menemukan tujuan hidup. Barangkali mereka telah mencapai segalanya dalam kehidupan, cenderung beranggapan bahwa dialah yang paling benar.
Dengan cara pandang dan pemanfaatan informasi tidak menutup kemungkinan adanya friksi ketika mereka bekerja sama. Pustakawan yang rata-rata digital migrant yang sebagian masih gaptek (gagap teknologi) berusaha untuk memberikan bantuan pelayanan perpustakaan pada generasi digital native yang rata-rata piawai dalam teknologi komunikasi dan komputer. Keadaan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan para pustakawan dalam memberikan pelayanan, mengingat pemustaka millenial kini menjadi kelompok utama pemustaka dengan kebutuhan atau minat informasi yang spesifik, dan kemungkinan memerlukan pelayanan yang spesifik pula.
Mengenal Pemustaka Digital Native
Semua masalah kontekstual di atas remaja yang selalu mengandalkan teknologi informasi, muncullah perkembangan etika pribadi dan pemikiran kritis. Mereka adalah golongan yang mempunyai rasa percaya diri tinggi, segalanya memungkinkan untuk meraih mimpi, untuk jadi dirinya sendiri, mengejar kesenangan. sehingga tidak mengherankan dalam mengerjakan tugas kebanyakan para remaja menunggu sampai menit terakhir untuk mengerjakan tugas rumah yang memerlukan sumber perpustakaan, dan disamping dikenal sebagai orang yang pandai dalam masalah komputer. Mereka lebih tertarik pada online game, dari pada mengerjakan pekerjaan rumah.
Orang muda lebih individualistik dibanding generasi sebelumnya, dan mencari selalu mencari otonomi dalam berpendapat dan perilaku. Banyak diantar mereka mereka suka bekerja dalem kelompok untuk berbagi gagasan dan bakat.
Orang muda tentu berambisi untuk menjadi sebih kuat bagi mereka yang kuliah, kepiawaian teknis merupakan langkah pertanyanya. Mereka penuh haraman karena menggunakan kebiasan dan lingkungan sekitar, Banyak diantara mereka mengharapkan harapan besar untuk gaji, keluwesan kerja, gaya hidup, teknologi dan masa depan.
Masih hangat dalam ingatan kita Polisi Ganteng yang muncul yang diunggah oleh Sherina Munaf di Tweeter, atau Udin Sedunia muncul di Youtube dan meraih popularitasnya, dan kaum muda mempunyai peluang untuk terkenal bagi orang biasa untuk mencari khalayak di internet atau tayangan Reality TV. Mereka terbuka dan merasa lebih nyaman dengan interaksi sosial. Dalam hal interaksi sosial mereka tidak segan untk berbagi perasaan dan informasi pribadi. Mereka mempunyai kesempatan untuk berbagi secara online. Oleh karena itu mereka akan mengharapkan sekaligus memberikan masukan-masukan yang tulus.
Orang muda kebanyakan selalu tersambung dan menikmati kenyamanan komunikasi elektronik dan nirkabel, mereka selalu dapat akses, interaktif dan terbuka. Mereka tampak selalu berpindah dan kita dapat melihat orang muda bekerja di luar kantor, di lobby hotel, bandara, stasiun KA, cafe atau tempat umum lain yang nyaman untuk bekerja, dengan kata lain mereka selalu bergerak.
Kondisi sosial dan ekonomi yang tidak stabil membuat mereka lebih independen dibanding para generasi sebelumnya, masa kecil mereka akrab dengan ketidak pastian, tidak dapat diduga dan tidak pasti. Banyak diantara mereka tidak mempunyai harapan untuk pekerjaan tetap. Oleh karena itu sering melihat orang muda berpindah-pindah pekerjaan.
Diantara mereka banyak bosan dan kecewa jika alur informasi lambat dan perhatian mereka bisa dialihkan dengan multi tasking. Kenyakan kaum muda itu asosiatif banyak yang terlibat pada gerakan sosial dan dengan misi kerakyatan. Merek ingin segera mengakses informasi secara instan, dan selalu on. Banyak diantara mereka tidak sabar walaupun banyak mereka mereka yang menjadi ahli atau menjadi terkenal dengan cara dadakan.
.
Mengklik tanpa Menyimak
Jika kita menghadapi kaum remaja di meja referensi perpustakaan umum, kita akan mengalami kejadian menarik sekaligus menantang. Misalnya karena sifat transisi remaja tertarik pada topik seperti musik pop Dustin Beiber, Dangdut Koplo, atau karya teenlit, dan susastra genre mutakhir lainnya. Kemudian ini akan menjadi rumit dengan kenyataan bahwa banyak pustakawan yang generasi sebelumnya tidak mengenal atau tidak nyaman dengan minat ini, karena mereka masih fanatik pada the Rolling Stones, the Queen atau Rhoma Irama – Rita Sugiarto. Topik yang bisa dianggap rutin bagi pustakawan sebagai problematika ketika banyak pemustaka remaja menginginkan informasi yang sama. Banyak orang tua mempertahankan kedewasaan remaja mereka dengan memberi pembatas informasi dan format apa yang bisa diakses. Ini dapat menimbulkan masalah bagi pustakawan yang pelayanan mereka terhadap remaja memerlukan pemahaman yang jelas terhadap perkembangan dunia remaja.
Saat ini kita menyaksikan banyaknya karya tulis mereka dalam skywriting maupun tercetak yang mencerminkan sikap mereka keseharian, yakni minimnya ketrampilan literasi mereka (Terus terang ini adalah spekulasi saya, karena banyak karya mereka yang sahih dan dapat dipercaya). Dalam sebuah pertemuan staf pengajar, seorang mengeluhkan kualitas skripsi mahasiswa bimbingannya dengan mengatakan bahwa bab II dan Bab II skripsi mahasiswa yang dibimbingnya rata-rata mirip.
Mungkin terlalu prematur jika mengatakan mereka melakukan plagiarisme. Eufisme yang tepat adalah ketrampilan literasi informasi mereka minim, dan pernyataan ini akan berujung pada karakteristik mereka yang mengakses informasi secara instan, dan tidak sabar walaupun banyak mereka mereka yang menjadi ahli atau menjadi terkenal dengan cara dadakan segera meroket, kadang tidak realistis, karena tidak menghargai sebuah proses pembelajaran.
Ada benarnya jika ketrampilan penelusuran web sekaligus kepiawaian komunikasi berbasis Web tidak sama dengan berpikir kritis, walaupun penguasaan dan pemanfaatan teknologi yang tepat itu bermanfaat untuk membantu tujuan akademis.
Kita dapat menyaksikan kegagapan para pemustaka digital native dalam mengevaluasi informasi yang diperolehnya antara lain dari karya-karya literature review mereka yang hanya menuliskan literature yang telah mereka baca tanpa mengemukakan perbandingan dengan literature lain, atau menunjuikkan keunggulan dan kelemahan literature yang mereka baca.
Sering pula kita baca karya kaum digital native terkesan sekadar menduplikasi informasi, baik pada karya tercetak maupun elektronikm, walaupun mereka menyebutkan sumbernya. Kemungkinan tindakan ini cerminan kegagapan mereka dalam mengevaluasi, menganalisa, dan mensintesakan informasi yang mereka peroleh untuk menciptakan pengetahuan baru. Hal seperti ini dapat kita lihat ketika kita menelusur sebuah informasi yang sedang trend. Kita akan melihat banyak inoformasi yang sama di lokasi berbeda Barangkali pengalaman mereka dalam berbagi, memanfaatkan freeware, dan ketersediaan file video musik mengarah pada asumsi jika semua berbentuk digital, adalah milik semua orang.
Terdapat kecenderungan mereka sekadar mengklik, tanpa menyimak dan mereka belum tahu mencari informasi secara kritis dan sistematis. Kecenderungan seperti ini mencerminkan bahwa mereka belum literate informasi.
Bekerja dengan Digital Native
Aspek lain perkembangan kaum remaja adalah kesadaran diri yang ekstrim. Dengan perkembangan kemampuan berfikir abstrak dan pengalaman yang terbatas, para remaja merasa bahwa mereka adalah pusat dunia. Egosintris membuat mereka mudah merasa malu karena mereka merasa berantakan, dan mereasa bahwa seluruh dunia mengwasinya. Oleh karena itu pustakawan referensi perlu memberikan pelayanan yang sopan dan menjaga kerahasiaaan. Remaja tidak akan mengajukan pertanyaan jika mereka tidak bisa dipercaya. Pelayanan hendaknya jangan menghakimi karena dengan tidak menatap mata atau bereaksi bahwa pertanyaannya seolaholah hanya main-main akan membuat mereka tersinggung. Semua ini membuat pelayaanan referensi bagi remaja itu unik dan menantang.
Berikut ini rekomendasi untuk melayani digital native:
• Jangan langsung bereaksi.
• Konsisten
• Jangan berharap remaja mengetahui peraturan atau berperilaku seperti yang kita harapkan
• Ciptakan situasi win-win
• Berlakulah seperti yang anda minta mereka berperilaku
• Mereka sering tidak sadar akan hambatan waktu
• Jangan diambil hati
• Pakailah nada suara yang positif dan berwibawa.
• Dapat diandalkan, dipercaya, menarik, responsif dan empati
Agaknya jarang kita temui kamum Digital Native di kota-kota besar yang tidak menyukai elektronic game, tidak mempunyai aku Facebook, atau jejaring sosial lainny. Oleh karena itu tidak ada salahnya dalam kursus ketrampilan literasi inromasi, instruksi bibliografi atau bimbingan pemustaka, pustakawan menggunakan game seperti yang bisa kita lihat pada Techsource blog. Pada situs ini kita akan melihat permainan interaktif dikembangkan untuk generasi muda, mengajar ketrampilan keberaksaraan informasi, misalnya dalam lingkungan sosial yang kolaboratif yang nyaman untuk pemustaka. Permainan-permainan semacam ini barangkali lebih cocok untuk remaja, karena mereka lebih suka lingkungan belajar yang melibatkan mulitmedia, permainan peran online muliti demensi.
Dengan demikian, dalam keadaan seperti ini pustakawan harus fokus pada bimbingan atas dasar permintaan, membantu remaja ketika mereka kesulitan dalam mencoba-coba. Oleh karena itu sebaiknya tidak perlu menyarankan hanya satu-satunya cara yang dianggap tepat. Tawaran pelayanan melalui surel, pesan instan dan pesan singkat mungkin akan lebih disukai remaja.
Pustakawan harus fokus dan siaga terhadap perubahan, bukan karena banyaknya pemustaka remaja, tapi karena konsumen yang berbeda untuk mengetahui minat pelayanan perpustkaan dan perpustakaan umum dan kemungkinan jarang mencari pelayanan konvensional. Generasi yang lebih tua kemungkinan lebih progresif menjadi pemustaka. Kaum muda berkomunikasi dengan teknologi media sosial mengunjungi perpustakaan untuk bersosialisasi dan berkolaborasi. Mereka tampaknya memadukan teknologi dalam kehidupan mereka karena memang tumbuh berkembang dengan teknologi dan Internet.
Dalam situasi seperti ini sebaiknya pustakawan mengasah kompetensi dasar, maupun kompetensi tingkat tinggi mereka. Kompetensi dasar antara lain kemampuan menyiasati perubahan dengan melihat perubahan dari sisi positif, kita khawatir tidak menyediakan pelayanan terbaik pada pemustaka lebih daripada kekhawatiran kita terhadap berubaha. Kedua mampu merasa nyaman dengan media online. Kita perlu melakukan kegiatan online diluar kegiatan rutin penelusuran pangkalan data dan katalog yang tidak kalah sulitnya dibanding kegiatan online yang lain. Pustakawan harus mampu menggunakan dan memanfaatan mesin pencari dengan baik. Tentu saja pustakawan berusaha mengevaluasi kualitas sumber-sumber online, termasuk kemampuan untuk menyelesaikan masalah teknologi sederhana, misalnya bagaimana mengatasi kemacetan printer karena kertas kusut. Pustakawan perlu menguasai teknologi di perpustakaan, mempelajari masalah yang sering muncul dan memperbaikinya bila perlu. Kemampuan untuk belajar teknologi baru merupakan kompetensi dasar, walau teknologi baru selalu muncul di perpustakaan. Rupanya kita perlu belajar bagai mana mempelajari teknologi baru di perpustakaan tanpa selalu meminta bantuan orang lain. Kemampuan untuk mengikuti teknologi baru dan perkembangan kepustakawanan merupakan antusiasme untuk belajar. Pengetahuan ini tidak cukup hanya mendengar dari sejawat, tetapi perlu praktikkan. Lima tahun yang lalu orang banyak membicarakan blog dan Instan Massaging di perpustakaan, sekarang sudah ada beberapa perpustakaan menerapkan fasilitas ini.
Sementara itu kemampuan tingkat tinggi terdiri dari Kemampuan mengelola proyek. Ini merupakan kemampuan tingkat tinggi yang perlu dimiliki pustakawan. Misalnya jika kita ingin meyelenggarakan Pelayanan Referensi Maya (Virtual Reference Service), pertama-tama kita tentu perlu membuat proposal pada atasan dengan contoh perpustakaan lain yang telah melaksanakan program referensi maya dan bagaimana perpustakaan kita menerapkan program itu denan menentukan sarana yang digunakan, pelatifhan staf, para pemustaka potensial, sosialisasi program dls. Pekerjaan ini tentu memerlukan waktu yang cukup, ketika atasan setuju, kita perlu mendelegasikan tugas pada sejawat dan mengajak yang lain untuk bekerja dalam satu tim. Disamping itu, kemampuan untuk berbicara dan bekerja dengan orang di luar perpustakaan misalnya orang Komputer, dosen, atau anggota kemounitas. Pustakawan sebaiknya mempunyai kemampuan membuat proyek dari gagasan sampai menjadi kegiatan yang berdampak (mengadakan pelatihan, pemasarang, dan menjaga kelangsungan pekerjaan).
Kemampuan untuk mengevaluasi pelayanan perpustakaan. Sering kali di perpuatakaan kita mempunyai kebijakan yang sia-sia, tidak membantu siapa-siapa. Mungkin pada masa lampau pekerjaan yang kita lakukan itu benar-benar membantu pemustaka, atau barangkali hanya bermanfaat bagi pustakawan saja? Dalam hal ini kita perlu selalu mempertanyakan apakah program kita berdampak pada pemustaka.
Seorang pustakawan di era seperti sekarang hendaknya mampu mengevaluasi kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders). Pustakawan perlu memahami perubahan cara perpustakaan memberikan pelayaanan akan berdampak pada semua pemangku kepentingan. Kadang-kadang kita hanya memperhatikan kebutuhan satu grup dan mengabaikan bahwa perubhan akan menguntungkan satu grup itu tidak menguntungkan yang lain. Dengan adanya perubahan, para pustakawan perlu membuat daftar pemangku kepentingan dan mendiskusikan dampak pelayanan pada mereka.
Visi untuk menerjemahkan pelayanan perpustakaan pada medium online, yakni dengan perkembangan belajar jarak jauh dan fakta bahwa banyak pemustaka yang mengakses perpustakaan dari Internet, pustakawan perlu mampu menerjemahkan pelayanan perpustakaan kedalam medium online. Penerjemahan ini termasuk pelayanan referensi dan bimbingan pemustaka atau program literasi informasi.
Mengkritisi dan membandingkan tiknologi merupakan pekerjaan yang sulit, misalnya memastikan sebuah alat baru tepat untuk sebuah pekerjaan perpustakaan. Kita perlu mengetahui persyaratan sarana teknologi untuk melaksanakan proyek. Kita harus dapat membandingkan versi perangkat lunak yang sama agar dapat memilih versi yang paling tepat untuk pemustaka kita. Teknologi memang suatu kebutuhan, akan tetapi kita perlu realistis berkenaan teknologi yang benar-benar dibutuhkan oleh pemustaka.
Kemampuan untuk menjual gagasan pelayanan perpustakaan. Walaupun seorang pustakawan Indonesia tidak dibekali dengan ketrampilan pemasaran dan salesmanship, kita perlu mengasah kemampuan itu. Gagasan pelayanan bisa kita jual pada para pembuat keputusak, orang-orang IT, dosen, peneliti atau mahasiswa. Ketika kita menyediakan pelayanan baru, kita harus memasarkannya pada pemustaka. Siapakah yang harus memasarkan gagasan penanggulanan digital devide dan Literasi Informasi, kalau bukan pustakawan itu sendiri.
Kesimpulan
Dunia perpustakaan saat ini cenderung interaktif, dengan pemustaka yang sebagian besar adalah kaum digital native. Untuk menghadapi masalah kesenjangan terkait dengan pelayanan perpustakaan, pustakawan sebaiknya mempersiapkan dan memperkuat kompetesi dasar dan kompetensi tingkat tinggi mereka.
Sebaiknya sekolah perpustakaan mengajarkan cara menjual pelayanan perpustakaan dan gagasan baru untuk para pemangku kepentingan. Ketrampilan evaluasi praktis dapat juga diajakan, ini tidak selalu mudah untuk menyebutkan mana yang dapat dilaksanakan dan mana yang tidak. Beberapa Sekolah perpustakaan mungkin mengajarkan mata kuliah Manajemen Proyek, dan dalam kuliah itu mengajarkan mengevaluasi perangkat lunak, yang juga kelas yang membahas pelayanan perpustakaan tradisional.
Teknologi itu datang dan pergi. Perubahan tidak bisa dihindari, tapi pustakaan dapat mengatasinay, dan dapat belajar dengan mudah, dapat mengikuti perubahan yang terjadi pada profesi yang mereka imani, dapat merencanakan dan mengevaluasi pelayanan yang mereka berikan, dan mampu menjal gagasan pelayanan mereka, tentu akan memenuhi tantangan pemustaka yang sedang berubah ini.
Daftar Rujukan
Boeree C.G (2006) Personality Theories: Erik Erikson 1902 - 1994 available at http://webspace.ship.edu/cgboer/erikson.html
Jaschik, S. (2007) When 'Digital Natives' Go to the Library Inside Higher Ed. June 25, http://www.insidehighered.com/layout/set/print/news/2007/06/25/games
Prensky, M. (2001) Digital Natives, Digital Immigrants On the Horizon (MCB University Press, Vol. 9 No. 5, October 2001) available at http://www.marcprensky.com/writing/prensky%20-%20digital%20natives,%20digital%20immigrants%20-%20part1.pdf
Indonesia Reference Service
Kamis, 06 September 2012
Rabu, 01 Agustus 2012
Akses Sumber Digital untuk Penelitian
Rosa Widyawan
Abstrak
Makalah ini dimaksudkan untuk memperkenalkan
pembaca pada sumber-sumber informasi digital untuk penelitian. Sumber informasi
digital menjadi sangat penting mengingat sejak munculnya Web. 2.0 atau Library
2.0 yang mengutamakan interaktivitas, maka pemanfaatan sumber digital menjadi
lebih mudah dan efaktif. Penulis mememperkenalkan beberapa sarana akses seperti
indeks, pathfinder, mesin pencari dan sumber informasi digital seperti jurnal
elektronik untuk para peneliti bidang sosial.
Makalah
mencakup siklus sumber informasi, sarana mengakses sumber digital, dan
mengevaluasi sumber-sumber yang didapatkan dalam rangkaian langkah penelitian
bidang sosial dan humaniora, dan menumbuhkan diskusi tentang kemunculan sumber
digital dan interaktivitas, sehingga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan
penelitiansecara efektif.
Kata kunci: information retrieval/ reference
collections/ scholarly journals/ information cycles/ digital collections/
linguistics/
I. Pendahuluan
Dalam tradisi keilmuan, orang selalu menyebutkan sumber ketika peminjam
pendapat atau gagasan orang lain untuk memperkuat argumen yang dituliskannya,
baik untuk menyetujui maupun membantah. Amalan ini selalu kita lakukan ketika
kita meneliti. Tindakan ini
bukan sekadar memenuhi persyaratan gaya selingkung disiplin ilmu, melainkan ungkapan kejujuran sekaligus penghargaan
terhadap jerih payah peneliti yang telah mengilhami kita. Selain itu, dengan
menyebutkan sebuah sumber yang relevan akan menambahkan kredibilitas dan
integritas kita sebagai peneliti. Memperoleh informasi saat ini lebih
mudah dibanding dasa warsa yang lalu karena informasi ilmiah baik tercetak
maupun digital melimpah mengepung kehidupan akademis dari berbagai arah.
Penyebarannyapun
semakin meluas, cepat, dan interaktif. Setelah munculnya Web 2.0 tahun 2009 para penulis seperti Aharoni
(2009), Dong Mei (2009) Cheng
(2009) Alton dan Dion (2010), Click dan Petit (2010) menggolongkan aplikasi Web
2.0 di perpustakaan kedalam empat pekerjaan yakni pertama, Blog dan Wikis bisa digunakan
untuk kepentingan pengadaan informasi
dalam arti mengumpulkan sumber informasi dari luar perpustakaan. Kedua, Really Simple Syndication (RSS)[1] dimanfaatkan untuk penyebaran informasi dari
pihak perpustakaan ke pemustaka. Ketiga, pelayanan social tagging (penandaan sosial)[2]
dimanfaatkan untuk mengelola informasi dengan memanfaatkan kata kunci atau
representasi kandungan informaci untuk memudahkan temu ulang selanjutnya.
Keempat, instan massaging (pesan
cepat)[3]
dan social networking (jaringan
sosial) seperti twitter dan facebook
dimanfaatkan untuk memperlancar arus. Informasi ini bukan berupa teks saja melainkan juga
audiovisual, sehingga kita dapat menyimak
diskusi atau presentasi ilmiah melalui media inteaktif YouTube dari tokoh penulis Dischooling Society, (http://www.youtube.com/watch?v=d8q0bfGEx70&feature=related).
Semoga saja dalam era kemakmuran
informasi kita akan lebih mampu membuahkan karya yang memperkaya khasanah
keilmuan.
II. Siklus
informasi
Dalam mencari informasi sebaiknya
kita mengetahui siklus informasi karya yang kita sitir agar kita yakin gagasan
yang kita pinjam itu diandalkan dan
teruji. Siklus informasi di
sini adalah tahapan proses penyebaran informasi yang terdiri dari siklus akses, yakni tahapan dimana
kita dapat mengakses informasi. Informasi jika masih dalam bentuk gagasan,
tentu saja tidak bisa kita akses secara langsung, karena masih dalam pikiran
seseorang. Kecuali jika informasi itu sudah didiskusikan. Kedua adalah siklus
penerbitan, ketika gagasan itu sudah ditulis oleh si empunya. Ketiga, adalah
siklus pentetahuan, dimana gagasan itu dikembangkan, dibuktikan secara empiris,
kemudian dilaporkan, sampai gagasan itu diformalisasikan. Terakhir adalah
siklus waktu, yakni kurun yang diperlukan dari tahapan satu ke tahapan lainnya.
Misalnya dari tahap gagasan sampai ke tahap penelitian awal biasanya memelukan
waktu sekitar satu tahun. Dari penelitian awal sampai pelaporan awal sekitar
1-2 tahun, demikian selanjutnya.
Dengan memahami siklus informasi ini kita bisa
merencanakan penelusuran dan menyusun langkah-langkah antisipasi, sebab kita
akan bisa memperkirakan informasi mana yang bisa diakses dengan mudah, atau
memerlukan upaya-upaya ekstra untuk mengaksesnya.
Rasanya sulit jika kita mengakses catatan harian (log book) seorang peneliti karena datanya belum
diolah menjadi informasi. Akan tetapi jika catatan harian itu sudah dibicarakan
dalam diskusi terbatas dalam seminar[4] atau diterbitkan di situs pribadi atau blog,
maka baru bisa diakses dan inipun sangat
terbatas, karena hanya mereka yang mendaftar yang bisa mengakesnya. Akses akan
menjadi lebih luas, ketika peneliti menerbitkannya dalam bentuk pre print[5], (lihat http://www.culturemachine.net/index.php/cm/index
) Penerbitan ini adalah penerbitan sebuah makalah sebelum diterbitkan ke mitra
bestaru atau jurnal. Tujuannya antara lain untuk mendapatkan masukan dari
sejawat. Ada pula makalah atau proposal penelitian yang diterbitkan pada
pangkalan data pre-print sehingga dapat diakses oleh Seminari maya[6]
(invisible colleges), yang memberikan
masukan berkenaan dengan makalah yang ditulisnya.
Jika makalah-makalah yang telah disampaikan dalam
proceeding konferensi, kita bisa mengakses melalui indeks khusus proceeding
baik yang tercetak maupun dalam bentuk digital. Di Indonesia PDII-LIPI dan
perpustakaan khusus lainnya menerbitkan
serial Indeks Makalah, Sementara banyak perguruan tinggi menerbitkan indeks
serupa. Biasanya indeks seperti ini dibatasi oleh ruang lingkup subjek dan
geografis. Namun demikian, informasi terkait akan lebih banyak ketika
diterbitkan pada web, milasnya ditautkan dengan pengarang, lembaga afiliasi,
naskah penuh referensi yang disitirnya.
Ketika riset itu dilaporkan dalam bentuk laporan
penelitian, laporan teknis, desertas, thesis, dapat kita akses melalui indeks
thesis dan desertasi yang diterbitkan oleh hampir semua perguruan tinggi negeri
Indonesia seperti Airlangga, Institute Teknologi Bandung, Universitas
Diponegoro. Kita perlu pula mencoba Dissertation
Abstract Online http://library.dialog.com/bluesheets/html/bl0035.html
yang menerima informasi dari lembaga pendidikan tinggi terakreditasi sejak
1861. Ada pula yang menelusur the UMI
Dissertation Abstracts database http://www.ntlf.com/html/lib/umi/umi.htm untuk mendapatkan disertasi dan thesis yang
sesuai dengan kebutuhan kita. Dengan lebih dari 14 juta desertasi (dan dengan
pertambahan 55,000 desertasi baru serta 7000 thesis per tahun pangkalan data UMI Dissertation
Abstracts dissertations and theses merupakan
sumber terpercaya untuk informasi berbagai topic ilmiah.
Tahap yang paling penting dalam proses siklus
karya ilmiah adalah ketika makalah dinilai oleh mitra bestari untuk diterbitkan
pada sebuah jurnal. Para penulis seperti
Harnad (1996) Hermalin (2003) dan Mc. Donnel (1994) penilaian mitra bestari itu
sarana penting untuk mengendalikan kualitas, apakah makalah itu ada di
jaringan, dan artikel target atau komentar. Tetapi ketika hambatan jurnal
tercetak terlampau keras dan kaku, masih banyak ruang di jaringan untuk
menggali kemungkinan yang lebih bebas, dan lebih kolektif dan interaktif.
Walaupun sering kali kurang memadai, koleksi
artikel jurnal disimpan di perpustakaan akademis baik dalam bentuk satuan
maupun bundel, biasanya dijilid menurut waktu terbit dalam satu atau dua volume
(tahun). Jika dibandingkan dengan sumber informasi lain, artikel jurnal
merupakan literatur paling tepat untuk
dirujuk, karena disamping tenggang waktu antara penelitian dan penerbitan
sekitar 2 tahun, jauh lebih pendek dibandingkan dengan buku ajar yang melebihi 3 tahun. Disamping itu, dari segi mutu artikel
jurnal dianggap lebih handal karena telah dinilai oleh mitra bestari, sebutan
untuk penilai mutu artikel yang ditunjuk redaksi atas dasar kepakaran.
[1] RSS (Really Simple Syndication)
salah satu format umpan web digunakan
untuk menerbitkan karya-karya yang sering diperbarui – misalnya entri blog,
berita, audio, dan video – dalam format standar (Wikipedia).
[2] Penandaan sosial (social tagging), "proses dimana para pengguna (pemustaka)
menambahkan metadata dalam bentuk kata kunci untuk berbagi konten".
bookmark sosial adalah sebuah metode untuk pengguna Internet guna mengorganisasi, menyimpan, mengelola dan
mencari sumber daya bookmark online. Berbeda dengan file sharing, sumber daya sendiri tidak dibagi, hanya ditandai
untuk dirujuk (Wikipedia). Lebih lanjut lihat bandingkan dengan 7 things you
should know about Social Bookmarking di http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ELI7001.pdf
[3] Instant messaging (IM)
adalah bentuk komunikasi real-time langsung berbasis teks antara dua orang atau
lebih menggunakan PC atau perangkat lain.. Teks disampaikan
melalui jaringan, seperti Internet. Dengan perangkat lunak yang lebih canggih
pesan bisa disampaikan dalam bentuk audio visual.
[4] Seminar yang saya maksudkan disini adalah
tradisi seminar kecil yang diselengarakan oleh kelompok profesi fungsional dalam lembaga penelitian atau kelompok dosen
di Fakultas.
[5] Istilah pre-print merujuk pada draft pertama artikel-
sebelum dinilai mitra bestari, bahkan sebelum ada kontak dengan penerbit. Di
kalangan akademisi menyerahkan pre-print meminta masukan pada sejawat untuk
perbaikan dengan penilaian mitra
bestari. Manfaat lain pre-print adalah untuk artikel yang telah selesai –
tetapi berbeda dari versi yang dinilai
dan diperbaiki, siap dan diterima untuk diterbitkan, tetapi terpisah dari versi yang diformat oleh penerbit.
[6] Gagasan Seminari maya an invisible college berpengaruh pada
abad ke 17 terutama di Eropa dalam bentuk jaringan kaum intelektual yang bertukar
gagasan melalui Pos. Ini merupakan model alternative dari Jurnal ilmiah, yang
dominant pada abad ini.Gagasan sejawat maya diteladani oleh jaringan astroners,
professor, matematikawan, dan failosof pada abad ke 16 di Eropa. Ilmuwan
seperti s Johannes Kepler, Georg Joachim Rheticus, John Dee dan Tycho Brahe
mengirimkan informasi dan gagasan satu sama lain . Metoda yang umum adalah
melalui marginalia, catatan yang ditulis di tepi buku.
Dalam bidang Seni dan Humaniora, bidang penyelidikan ilmiah yang dilaksanakan secara maya adalah
kajian sejarah perfilman selama puluhan tidak akademis. Salah satu komunita
film, atau Masyarakat Pelestarian Musik Film diawali oleh meraka yang paham
diluar akademis, Seminari Maya mirip
dengan system system kelompok, yang, namun berpengaruh dalam siklus keilmuan,
teknik, maupun politik. Sampai sekarang anggota seminari maya adalah ilmuwan
independent. Anggotanya adalah ilmuwan
independent. Dengan kata lain, seminari maya ini system pendidikan akar rumput.
Bagan I: Siklus Informasi
kedalam sebuah anual review, atau encyclopedia aksesnya akan lebih mudah
dan kita bisa melihat pada bibliografi. Bisa juga melalui panduan literatur
(guide to the literature) yang biasanya
diterbitkan oleh perpustakaan akademis, atau bisa jadi ditulis oleh para dosen
karena pokok bahasannya lebih spesifik.
Lebih mudah lagi kita mencarinya ketika gagasan
itu dipopulerkan karena karena media yang memuatnya lebih beragam dengan
khalayak pembaca yang lebih banyak dan beragam pula. Misalnya ketika gagasan
realisme sosialis dan humanisme universal diperkenalkan pada dasa warsa 70-an
dan post-modernisme pada 90-an, banyak majalah populer dan surat kabar memuat.
Untuk mencarai gagasan yang diperkenalkan ke publik, kita bisa melihat
pada melihat indeks yang diterbitkan
oleh perpustakaan seperti Expanded academic research libraries atau Lexis Nexis. Pangkalan data komersial ini
menawarkan arsip majalah, surat kabar, dokumen legal dan sumber tercetak
lainnya.
III. Alat Penelusuran
Untuk mempermudah pemustaka menelusur dan mendapatkan informasi yang
dibutuhkannya para pustakawan membuat alat berupa katalog, indeks, abstrak,
bibliografi, direktori baik tercetak maupun elektronik. Penggabungan antara
teknologi komunikasi dan komputer mampu merobohkan tirani jarak dan waktu
melalui Internet, sehingga ilmuwan sedunia bisa bersilaturahmi dan berbagi
sumber informasi.
- Katalog
Saat ini alat penelusuran yang bernama Kartu Katalog berukuran 3 x 5 inci semakin langka
keberadaannya, dan tidak disimpan di laci katalog, melainkan di sebuah server.
Kartu yang menyediakan akses pada satu koleksi perpustakaan seperti buku,
video, dan CD kebanyakan berbentuk OPAC
(Online Public Access Catalog). Banyak perpustakaan perguruan tinggi
menyediakan katalog jenis ini, tetapi ada pula katalog bersama yang disediakan oleh perguruan tinggi
dan pusat informasi besar seperti Worldcat
yang banyak dirujuk orang. Disamping kita bisa mengatahui catatan tentang
koleksi, dan dimana keberadaannya, salah satu keistimewaannya adalah memberikan
cara bagaimana mesiritir koleksi dengan gaya APA (American Psycology Association) atau standar yang lain.
- Bibliografi
Untuk mengetahui isi sebuah artikel jurnal, makalah, proposal riset atau
karya tulis ilmiah lainnya, pustakawan menyusun kumpulan abstrak, sekaligus
indeks yang menunjukkan lokasi informasi yang dicari, yakni merujuk pada
jurnal, prosiding konferensi, atau koleksi perpustakaan lain yang memuat
informasi yang kita perlukan.
- Indeks (Indecies)
Sacara harafiah, indeks itu telunjuk, oleh karena itu merujuk pada analisis
kandungan “bibliografi yang benar-benar
tersedia” misalnya artikel pada jurnal, cerpen atau puisi dalam antologi, atau
makalah dalam konferensi. Alat ini tidak terbatas untuk mencarai apa yang
tersedia di perpustakaan, dan
tidak selalu menyebutkan lokasi, melainkan memberikan, bagian dari catatan yang mewakili, karya yang lebih besar dimana
karya yang lebih kecil. Oleh karena itu setelah melihat indeks kita harus
melihat ke katalog untuk mencarinya.
Banyak
Indeks dan Abstrak untuk kajian bahasa dan budaya antara lain Indeks
Majalah Ilmiah Indonesia (Indonesia Index
of Learned Periodicals), terbitan PDII-LIPI. Terbitan yang berumur hampir
setengah abad ini mengembangkan sayapnya dengan tambahan produk baru berupa
pangkalan data naskah utuh (full text)
yakni ISJD (Indonesia Scientific Journal
Database) suatu bentuk pangkalan data yang lebih bermanfaat karena
mempunyai fungsi lebih dibanding dengan versi cetak.
Tidak jarang peneliti
mengunduh informasi berbasis Web yang menyesatkan, padahal setiap mereka punya
kewenanguan mempelajari informasi elektronik yang mereka terima. Mungkin saking
cepat dan banyaknya informasi yang mereka dapatkan, beberapa terlewat.
Akibatnya sebagian temuan itu tidak dapat dipercaya. Padahal secara sekilas
bisa dilihat dari lembaga penerbit, afiliasi pengarang, taut artikel dengan
bahan rujukan, atau kontak telfon, surat keong maupun surat elektronik.
- Finding Aids
Finding aids adalah sebuah alat bantu mencari
merupakan deskripsi koleksi arsip, kadang-kadang alat ini disebut inventaris.
Pusat Arsip seperti Arsip Nasional RI selalu memelihara dengan cermat koleksi
bahan arsip dari koleksi pribadi maupun lembaga secara kesatuan. Sementara itu
finding aids sendiri sering dikatalog, yakni catatan pengganti dari katalog
lembaga dibuat menggambarkan finding aid
dan menyediakan nama, judul dan akses subjeknya.
- Registers
Register merupakan alat pengendali utama koleksi museum. Register juga
disebut catatan pengadaan (accession log).
Fungsinya mirip katalog, namun ada beberapa tambahan. Proses registrasi di
museum sama dengan cara mengkatalog di perpustakaan, Selama proses, pencacatan
akan menidentifikasi objek, donor, dan asosiasi misalnya milik seseorang,
informasi yang diperlukan untuk tujuan asuransi, dsb. Nomor identifikasi
dibubuhkan. Catatan pengadaan ini menjadi dasar untuk pengelolaan ini museum.
- Pangkalan data
Pangkalan data dimasukkan di sini bukan karena dia alat penelusuran, tetapi
terdiri dari struktur yang digunakan alat penelusuran. Pangkalan data merupakan
sejumlah rekod yang dusun dengan cara yang sama dan dihubungkan oleh taut
keterkaitan (relationship) antara
satu rekord dengan yang lain. Pangkalan data bisa berisi data faktual, atau
naskah dari berbagai subjek. Pangkalan data yang dibuat untuk sarana
penelusuran, terdiri dari rekor. Semua alat penelusuran yang dibicarakan disini
semua bisa disimpan dalam pangkalan data elektronik, walaupun bibliografi dan finding aids tampaknya ditampilkan
sebagai teks.
- Mesin Pencari
Mesin pencari di web dirancang untuk mencari informasi di World Wide Web. Hasil penelusuran selalu
disajikan dalam daftar temuan dan disebut hits/. Informasi ini berisi laman,
gambar, informasi dan jenis file lain. Beberapa mesin pencari juga menggali
data yang tersedia di pangkalan data atau direktori terbuka. Berbeda dengan
direktori web yang dikelola oleh penyunting manusia, mesin pencari bekerja
secara algoritmis atau gabungan antara algorimik dengan masukan manusia.
Apakah ini merupakan suatu kemewahan, jika hampir
tiga bulan sekali muncul mesin pencari baru, atau setidaknya yang lama
memberikan fasilitas baru. Infoseek, Lycos, Webcrawler, AltaVista, Vivisimo,
dan deretan panjang lainnya, tak kunjung usai.
IV. Sumber Sains
Sosial dan Humaniora
Sain Sosial lebih lambat
dalam mengikuti format elektronik. Para Ilmuwan Sosial dan humaniora menggunakan artikel jurnal dan menggunakan
sitiran dari artikel jurnal untuk mengembangkan penelitiannya yang dapat meniti
naskah sejarah sampai
literatur terkini. Mereka sering tidak mengandalkan pada sarana bibliografis
tradisional. Namun demikian, ketika sumber informasi elektronik sains sosial
meningkat, meninatn mereka pun meningkat.
Banyak informasi sains
politik tersedia dalam bentuk CD-ROM juga di Web. Facts On File World News, ada
pada CD-ROM, memuat semua informasi diterbitkan dalam Fact on File dari 1980
sampai sekarang. Terbitan ini setiap kuartal diperbarui, penelusuran dapat
dilakukan dengan menggunakan kata kunci atau subjek dan tertaut pada berbagai
aspek dari artikel. CQ.Com on Congress
(Congressional Quarterly) menerbitkan
CQ Weekly dan Daily Monitor, dari terbitan
inilah pemustaka dapat memperoleh informasi dan analisis tentang semua aspek
dari Kongress.
Akses terhadap surat kabar
berkembang pesat. Banyak perpustakaan
hanya mampu melanggan beberapa surat kabar saja. Hampir semua surat kabar ibu
kota seperti Bisnis Indonesia, Jurnal Indonesia, Kompas, Koran Tempo,
Republika, Media Indonesia, Rakyat
Merdeka, Juga kantor berita seperti Antara, Reuter dapat diakses melalui
Internet. Berapa diantaranya dapat diakses secara gratis dan beberapa harus
mendaftar terlebih dahulu.
Beberapa perusahaan
penyedia indeks menyediakan indeks bisnis seperti Bell & Howell meluncurkan ABI
Informs, IAC dengan General Business
File ASAP, dan EBSCO dengan Business
Source Elite. Banyak direktori bisnis tersedia dalam CD-ROM maupun Web.
Sumber-sumber yang bisa
dikatakan lebih maju anntara lain adalah Contemporary
Women’s Issue adalah CD-ROM dengan naskah lengkap yang mengindek jurnal dan
literatur lain seperti. JSTOR
(Singkatan dari Journal Storage)
merupakan system online untuk
mengarsipkan jurnal ilmiah, didirikan pada 1995. Pangkalan data ini memberikan
jasa penelusuran naskah penuh hasil digitasi terbitan lampau dari beberapa
ratus jurnal terkenal, sejak
1665 yang didapatkan dari Philosophical Transactions of the Royal Society. Bidang kajian yang ditawarkan antara lain
ekonomi, sejarah, sosiologi dan yang lain. Anggota JSTOR sampai saat ini
mencapai sekitar 7000 lembagai di 159 negara.
Manuskrip dan Buku sebagai objek objek fisik yang
terkait dengan kandungan intelektual merupakan sumber kajian para ilmuwan
humaniora. Jika bidang ini masih mengandalkan monograf daripada jurnal ilmiah,
maka tidak mengherankan jika kita lebih banyak buku atau manuskrip didigitasikan dari pada artikel jurnal.
Mereka yang bekerja di bidang humaniora bekerja dengan berbagai bahan termasuk
tinjauan buku, katalog penerbit, dan banyak melihat-lihat, mengamati dan
membuat catatan kaki, serta berkonsultasi dengan sejawat mereka.
Kamus dalam beberapa disiplin ilmu bidang
humaniora cenderung memberikan definisi kurang pasti dibanding Sains atau Sains
Sosial, oleh karena itu menjadi lebih sulit untuk menggunakan pemilihan istilah
indeks tradisional dalam penelusuran bibliografis, Juga banyak mengandalkan
istilah atau nama diri. Para ilmuwan humaniora memerlukan indeks yang
dilengkapi dengan kamus dan kemampuan untuk menelusur melalui genre, periodisasi susastra, lokasi dan
teknik. Oleh karena itu hypertext
merupakan potensi yang cocok untuk humaniora dengan mentautkan pada
peristilahan ikon, gambar, suara, dengan dokumen yang terkait. Contohnya adalah
the Perseus Project, proyek perpustakaan digital Universitas
Tufts yang meyusun koleksi digital sumber-sumber humaniora.
Minat para ilmuwan humaniora antara lain file
naskah elektronik, katalog perpustakaan dengan sumber bahan primer, jurnal
elektronik, pangkalan data naskah utuh, situs web dengan artis dan penulis
tertentu, dan naskah utuh tentang literatur sekunder seperti kritik susastra.
Project Gutenberg (PG) adalah upaya sukarela untuk
mendigitasikan arsip karya dudaya untuk mendorong kreasi dan distribusi Buku
elektronik. Proyek ini merupakan perpustakaan digital tertua yang didirikan
pada 1971 oleh Michael S Hart. Kebanyakan materi yang dimuat adalah buku-buku
bebas (public domain books). Proyek
ini menyediakan koleks digitalnya secara gratis. Pada bulan Juni 2011, koleksi
proyek ini mencapai lebih dari 36 000 koleksi.
Terdapat pula Oxford
Text Archive (OTA) yakni arsip naskah elektronik dan sumber kesusastraan
dan bahasa yang dibuat, dikoleksi dan didistribusikan untuk penelitian
linguistik dan kesusastraan. OTA didirikan oleh Lou Burnard dari Oxford
University Computing Services pada tahun 1976, dan dianggap sebagai arsip paling lama
sumber naskah akademis dalam bentuk elektronik. Dari tahun 1996 sampai tahun 2008, the OTA adalah satu diantara
pusat Arts and Humanities Data Service (AHDS)
Literature, Languages and Linguistics, sebuah pusat nasional untuik
mendukung riset digital dalam bidang kesusastraan dan linguistik di Inggris
Indeks subjek untuk buku dan artikel tentang
kesusastraan, folklore, dan linguistik tersedia di MLA International
Bibliography. Ruang lingkup termasuk kesusastraan seluruh dunia, Africa,
Asia, Australia, Eropa, and Amerika Selatan
dan Utara. Folklore diwakili dengan sastra rakyatm musik, seni rupa, upacara,
dan system kepercayaan. Materi linguistics dan bahasa mencakup sejarah dan teori linguistik,
lingguistik bandingan, semantic, stylistic, dan sintaksis sampai terjemahan. Topik
lain termasuk teori dan kritik kesusastraan, seni drama (Radio, film, televisi
dan teater) dan sejarah percetakan dan penerbitan. Akan tetapi karya susastra
Yunani dan Romawi klasik, Injil atau Alqur’an tidak dimasukkan kecuali jika
terkait dengan topic kesusastraan atau bahasa dalam ruanglingkup bibliografi.
Karya tentang pengajaran bahasa, kesusastraan, dan retorika serta komposisi
untuk tingkat perguruan tinggi dimasuikkan.
Semua itu disusun oleh staf MLA
Office of Bibliographic Information Services bekerjasama dengan 100
bibliografer di Amerika Serikat. Ini semua tersaji secara online, dan dalam setahun telah
rata-rata mereka mengindeks 66.000 buku dan artikel.
Menemukan sumber informasi yang terkait dengan
topik bagi peminat bahasa dan kajian budaya adalah di Perkpustakaan Akademis/Fakultas
di bidang ini, karena perpustakaan semacam ini mengadakan, dan mengolah
sumber-sumber terkait dengan bidang kajian lembaga induknya, yakni Fakultas.
Sumber informasi mereka dapat kita kategorikan menjadi dua berdasarkan sifat
pelayanannya. Pertama adalah sumber yang dibaca ditempat, atau koleksi referensi. Literatur semacam ini
dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dasar untuk mengembangkan kajian.
Kebanyakan orang hanya membaca sekilas untuk melihat batang tubuh suatu subjek. Sumber kedua
adalah sumber-sumber yang dapat dipinjamkan pada pemustaka untuk jangka waktu
tertentu atau koleksi yang disirkulasikan. Tentu saja jangka waktu peminjaman
berdasarkan kebijakan yang diputuskan oleh perpustakaan. Namun demikian, pada umumnya jenis-jenis
sumber-sumber informasi yang sering digunakan antara lain sebagai berikut:
- Almanak
Almanak terdiri dari informasi faktual singkat tentang berbagai macam
subjek dan diterbitkan tahunan. Informasi yang khas adalah statistic, kejadian-kejadian
bersejarah, cuaca, fakta geografis, anugrah, tokoh, astronomi, fakta-fakta
ekonomi, dan laim sebagainya. Almanak sering mensitir sumber-sumber yang telah
digunakan, yang mengarah pada sumber-sumber spesifik Jika kita tidak bisa
dapatkan Almanak tercetak, kita bisa melihat almanak elektronik
- Encyclopedia
Ensiklopedia itu sejumlah buku yang berisi informasi berbagai topik.
Entrinya lebih panjang daripada almanak,
direktori, atau kamus. Entri atau artikel ensiklopedia disusun secara alfabetis.
Ensiklopedia umumnya terdiri dari beberapa volume dangan volume indeks untuk
membantu mencari informasi.
Sampai saat ini, karya ensiklopedia yang dianggap
standar adalah Encyclopedia Britanica. Ensiklopedia menurut topic sekarang
menjadi semakin popule, dan mencakup berbagai macam topik seperti Bahasa dan
Kesusastraan , atau yang lebih spesifik lagi Sejarah militer. Uniknya
artikel encyclopedia elektronik ini dirujuk oleh pelayanan referensi
seperti infoplease. Misalnya terminology acculturation
diambil dari The Columbia Electronic
Encyclopedia, 6th. Disamping itu, pelayanan referensi ini juga
menyediakan taut pada pengucapan dan transkripsi. Untuk menggali lebih dalam
makna akulturasi pelayanan ini juga mentautkan dengan artikel-artikel yang
berhubungan dengan akulturasi.
- Berkala
Terbitan berkala adalah terbitan yang sedang berlangsung dan diterbitkan
secara berkala seperti suratkabar, majalah atau jurnal. Terbitan jenis ini juga
disebut serial. Majalah sering terdiri dari informasi populer mempunyai banyak
iklan dan ditulis oleh wartawan atau staf majalah itu. Lain halnya dengan
jurnal seringkali berupa publikasi ilmiah dengan artikel yang lebih panjang dan
ditulis oleh professional dalam bidangnya dan lebih berorientasi pada riset
dibandingkan dengan majalah.
Jurnal Ilmiah itu gampang ditengarai, bentuknya
sederhana tanpa warna warni. Kebanyakan miskin advertensi, sebab pembacanya
sangat terseleksi yakni ilmuwan
seprofesi. Artikel ditulis oleh pengarang spesialis keilmuan, pantang
memakai nama samaran, dan selalu mencantumkan organisasi tempat mereka
berafiliasi. Maksudnya agar mudah dihubungi pembaca melalui telfon maupun surat
keong dan elektronik. Artikelnya
cenderung panjang, kaya jargon, kadang pakai kata kata latin, tabel, diagram,
dan pasti disertai catatan kaki, referensi atau bibliografi. Ciri yang sangat
khusus adalah bahwa jurnal ilmiah diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, Lembaga
Penelitian, atau Organisasi Profesi. Kunci jurnal ilmiah saat ini terpusat pada
mitra bestari, berdasarkan riset,
menjadi objek konvensi disiplin. Diharapkan agar riset mempunyai kandungan
orisinal, menambah basis ilmu pengetahuan.dan diterbitakan bagi komunitas ilmuwan yang bekerja pada
bidang kajian tersebut. Dengan demikian, jurnal ilmiah akan menyajikan hasil
penelitian penting, sehingga memperkaya
pengetahuan yang memicu penelitian selanjutnya.
- Direktori
Disamping itu banyak koleksi reference lainnya sebagai titik tolak kajian kita.
Contoh direktori yang paling sering dirujuk adalah Buku Telefon. Banyak
direktori yang diterbitkan orang diantaranya Directory of
semiotics and semioticians dari the University of Colorado, Denver yang
tercakup dalam direktori web Teori dan Kritik Susastra
(http://www.zeroland.co.nz/literary_theory.html).
Direktori semiotics ini disamping memberikan alamat para ahli semiotika, duga
mentautkan karya-karya mereka dalam bentuk naskah penuh.
- Buku Tahunan
Dengan melihat Buku tahunan (Year
books) misalnya kita bisa melihat peristiwa yang terjadi pada tahun tertentu
dalam bidang bahasa dan kebudayaan. Pada umumnya tahunan itu bersifat umum, tentang semua yang
terjadi dalam satu tahun dan sering diterbitkan sebagai pelengkap ensiklopedia
umum. Banyak profesi menerbitkan buku tahunan dengan informasi tentang
kejadian, statistik dan tokoh yang terkait dengan profesi.
V. Menelusur dan mengevaluasi
Penelusuran informasi yang dimaksud di sini adalah metoda untuk menemukan
isi dokumen, dan metadata tentang dokumen
juga berkaitan dengan pankalan data relasional dan World Wide Web.
Memang ada tumpang tindih penggunaan istila penelusuran data, penelusuran
dokumen, penelusuran informasi dan penelusuran naskah, namun demikan masing
masing mempunyai literatur, teori, praktik dan teknologi masing-masing.
Penelusuran informasi merupakan kegiatan yang interdisipliner yang berdasarkan
pada ilmu komuter, matematika, ilmu perpustakaan dan informasi, arsitektur
informasi, psikologi dan linguistiks.
Sistem penelusuran
otomatis digunakan untuk menemukan kembali informasi secara efektif. Banyak perpustakaan menggunakan sistem
penelusuran untuk menyediakan akses pada buku, jurnal dan dokumen lain, diantaranya adalah
katalog berkomputer atau OPAC (Online
Public Access Catalog), dan
pangkalan data khusus. Penerapan sistem penelusuran yang sering kita gunakan
adalah Mesin Pencari yang ada pada Web
dan mesin pencari seperti Google, Yahoo, atau Altavista inilah yang
banyak diandalkan orang.
Memang menelusur dengan mesin pencari banyak
menolong pada langkah-langkah awal. Sayangnya, sering kali kita mendapatkan
temuan terlalu banyak sehingga kita memerlukan beberapa langkah agar penelusuran kita effektif.
- Mengevaluasi sumber dari Internet
Jika sebuah situs Web perpustakaan menyediakan taut gratis,
kita perlu perlu mengevaluasi secara cermat situs yang ditaut, sama halnya
menilai sebuah koleksi referensi, dan perlu sering meninjau ulang untuk
memastikan apakah informasinya sudah diperbarui dan bisa diandalkan. IFLA
(2008) menganjurkan untuk melihat tujuan,
penulis, ruang lingkup, edisi atau revisi terakhir, dan format dipertimbangkan dalam mengevaluasi sumber Web
maupun sumber tercetak. Beberapa
hal bermanfaat untuk mengavaluasi situs ditawarkan oleh Librarians' Index to the Internet (http://www.lii.org)
Walaupun banyak anggapan
bahwa Internet mampu tampil sebagai sarana paling jitu untuk mencari informasi
referensi cepat, ternyata tidak demikian dan banyak pertanyaan yang justru
lebih cepat dicari pada buku referensi tercetak. Idealnya adalah menggunakan
kedua-duanya, dan tentu saja ini memerlukan penilaian pustakawan yang
bersangkutan. Memadukan informasi tercetak
dan Web merupakan ketrampilan yang penting. Jika seorang pemustaka memerlukan informasi yang cukup mendalam
tentang suatu subjek, lebih baik menggunakan sumber tercetak yang mempunyai
pembahasan mendalan dibanding yang ada di Web. Karya referensi paling baik pada
subjek itu mungkin tidak tersedia di Web.
Bisa jadi informasi yang ada di Web lebih terbarukan, tetapi memerlukan
informasi dari koleksi tercetak untuk melengkapinya. Misalnya kita mencari
biografi seorang tokoh yang masih hidup, kita perlu melihat ke Internet untuk
memperoleh informasi terkini.
Untuk
mengevaluasinya kita perlu mempertimbangkan tujuannya, keperngarangan, ruang
lingkup sumber Web itu. Sayangnya banyak situs web yang gagal menyediakan
informasi itu.Beberapa hal penting sebagai pertimbangan untuk mengevaluasi itu adalah:
- Apakah yang tersirat dari URL? Apakah tertulis.edu, .org, or .gov, ataukan situs pribadi yang ditandai dengan ( ~).
- Scan perimeter halaman, mencari link ke Tentang Kami (About), Latar Belakang, dll
- Carilah update terakhir.
- Carilah indikator kualitas, yaitu informasi yang bertanggung jawab atas isi dari halaman dan merupakan sumber didokumentasikan.
- Apakah link yang dipilih tertata dengan baik?
- Apa yang orang lain katakan? Lihatlah halaman dalam direktori terkemuka yang mengevaluasi isinya (misalnya Indeks Pustakawan 'ke internet).
Kandungan
informasinya haruslah unik dan tidak dipunyai oleh situs lain, atau lebih
lengkap. Dengan kata lain harus memberikan informasi yang signifikan pada
subjek. Dalam hal ini pustakawan haruslah yakin ruang lingkup dan keterbatasan
sumber itu sebelum menautnya. Beberapa situs mempunyai tujuan tertentu, tidak sekadar memberikan informasi, bisa saja
untuk memasarkan produk atau ideologi si empunya situs. Situs yang dipilih
harus ditulis secara jelas dengan bahasa non teknis dan tidak rancu. Grafik,
suara, dan video perlu diperbarui, namun jangan terlalu banyak karena
kemungkinan akan memperlambat respon. Informasinya harus sahih dan tidak berat
sebelah atau subjektif, oleh karena itu opini pribadi atau kelompok perlu diidentifikasi.Kepengarangan
harus dilihat, untuk memastikan siapa
yang membuat situs itu dan apakah pengarang dapat dipercaya. Ini merupakan
indikasi bahwa sebuah situs web itu dapat dipercaya.
1. Mengevaluasi hasil temuan
Tidak jarang kita mengunduh informasi berbasis Web yang
menyesatkan, padahal kita telah mempelajari informasi elektronik yang kita
dapatkan. Mungkin saking cepat dan banyaknya informasi yang kita dapatkan,
beberapa terlewat. Akibatnya sebagian temuan itu tidak dapat dipercaya. Oleh
karena itu mereka perlu belajar mengevaluasi
sumber informasi berbasis web untuk menditeksi informasi yang salah.
Jika perpustakaan tidak menyelenggarakan kelas untuk itu, para peneliti bisa
melihat di situs universitas seperti Online
Research Education di Universitas Purdue (http://core.lib.purdue.edu/; dan
bererapa diantaranya Boswel (1996) memberikan parameter untuk mengukur apakah
sebuah dokumen di Web itu laik untuk disitir atau tidak dan dan tolok ukur itu antara lain
seperti dibawah ini:
a. Kepengarangan
Pertanyaan pertama yang harus kita cari jawabannya
adalah orang yang menulis artikel itu. Apakah penulis tersebut mempunyai
kualifikasi dalam bidang yang dituliskannya?
Untuk itu kita bisa melihat afiliasi pengarang dan tentu saja apakah
afiliasinya juga dapat dipercaya. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa kita cari
jawabnya dengan menelusurinya. Kemudian kita juga bisa melihat siapa yang menerbitkan tulisan itu dan melihat
reputasi penerbitnya.
b.
Kesahihan
Apakah informasi tersebut sahih yang tercermin
antara lain adalah bebas salah ketik, kemudian bagaimana penggunaan sitiran
dalam naskah yang kita dapatkan. Jika juga bisa melihat penasriran dan
implikasi yang diajikan cukup rasional.
Apakah dalam naskah itu disajikan bukti-bukti yang mendukung kesimpulan dan
sudahkan bukti-bukti itu dapat diferifikasikan dan apakah penulis mendaftar
sumber, referensi dan sitiran dengan benar.
c.
Objektivitas
Untuk melihat objektivitas sebuah dokumen kita perlu melihat tujuan
penulisan itu, atau apa yang diinginkan penulis untuk tujuan-tujuan subjektif
atau untuk mempropagandakan produk atau pelayanan tertentu. Bisa saja tujuan
itu berdampak pada penyajian dokumen,
misalnya. Menampilkan bukti-bukti yang mendukung pernyataannya saja. Dalam sebuah artikel pembahasan yang berat
sebelah itu bisa saja dituliskan secara tersirat dan ini perlu kita cermati.
Bisa saja tulisan itu berupa fakta, opini, lelucon
atau tulisan bernada satir, dan hal-hal ini dapat mempengaruhi objektivitas
sebuah karya tulis.
d.
Kemutakhiran
Sebuah artikel
digolongkan mutakhir jika informasi yang dikandungnya itu terkini dan masih
sakhih, jika tulisan itu berupa teori, belum ada teori baru yang
menggugurkannya. Dalam mengukur kemutakhiran kita juga bisa melihat tangl
terakhir situs Web itu diperbarui dan perihal yang penting dalam hal ini apakah
taut yang disajikannya masih berfungsi ataukan sudah tidak ada lagi.
e.
Ruang lingkup
Ruang lingkup dokumen
yang kita pilih haruslah relevan dengan topi atau tugas-tugas penulisan yang
kita emban. Bisa saja ruang lingkup
dokumen tersebut relevan, akan tetapi ditujukan untuk umum, atau untuk anak.
Perihal penting yang perlu dipertmbangkan adalah kelengkapan dan keunikan
informasi yang disajikan.
Catatlah semua referensi yang kita dapatkan, walaupun belum tentu nanti
kita gunakan. Beberapa sumber menyediakan fasilitas mengunduh yang memungkinkan
kita mengekspor referensi terseleksi seperti file txt, atau pada berbagai
perangkat lunak manajemen referensi. Tidak ada salahnya jika kita mencoba perangkat
lunak manajemen referensi diantaranya EndNote. Catatlah dimana anda harus
mendapatkan referensi itu, dan kita dapat melihatnya pada catatan dalam rekord
yang ada. Jika kita memfotokpi sebuah artikel, catatlah publikasinya secara
rinci, nama jurnal, tahun dan terbitan
dan dari perpustakaan mana anda mendapatnya, jika sewaktu-waktu kita
membutuhkannya untuk disitir.
Memang
benar bahwa sitiran berdasarkan pada standar referensi, namun demikian
peraturan format dapat berbeda menurut bidang kajian atau disiplin ini.
Persyaratan khusus yang diminta oleh penerbit, dosen, lembaga atau organisasi
haruslah kita penuhi.
Masalah serius yang kita hadapi adalah ketelitian, jika kita tidak teliti dalam
menuliskan referensi atau catatan kaki. Beberapa organisasi profesi menusun
panduan penulisan catatan kaki atau sitiran misalnya edisi ke 5 APA (American Psychological Association).
Standar sitiran banyak dianut dalam ilmu-ilmu sosial.; Chicago (Author – Date);
Harvard (edisi ke 18), MLA ( Edisi ke 6) atau Turbarian (Edisi ke 6). Pada
umumnya sitiran adalah rujukan pada sumber yang diterbitakan atau tidak dan
tidak harus asli. Tujuan utama sitiran adalah adalah untuk mengungkapkan
kejujuran intelektual.
VI. Kesimpulan
Munculnya dokumen digital dan perkembangbiakannya membuat komunikasi
keilmuan kita lebih mudah dan nyaman, karena dokumen digital itu mempunyai
sifat yang mudah ditransfer, digandakan, bahkan dimanipulasi, dengan kata lain
mudah dipotong dan ditempel, cut and
paste! Keadaan semacam ini juga menguji iman keilmuan kita untuk tidak
terjerumus pada tindakan plagiarisme yang tidak terpuji itu.
Untuk menghindari plagiarisme kita harus
mendokumentasikan sumber kita dengan benar dengan menggunakan, catatan kaki,
referensi atau referensi dalam tanda petik dan harus menuliskan bibliograri,
referensi atau halaman karya yang disitir serta menempatkannya pada akhir
Kita perlu teguh hati dan tidak tergoda untuk
memita orang lain untuk menuliskan makalah atau tugas kita, atau menyerahkan
makalah yang sama pada dosen atau penerbit yang berbeda. Janganlah kita menganggap orang tidak tahu
jika kita membeli essai dari Internet, karena setiap orang bisa
mengaksesnya. Kita harus menghindari mengunduh
informasi dari CD-ROM atau dari Internet dan langsung memasukkan kedalam makalah kita tanpa
menyadur dan menyebutkan sumbernya. Jika tidak kita akan terjerumus ke dalam
tindak penjiplakan atau plagiarisme. Beberapa penulis seperti Martin (1994), Martin (2002) Wiradi
(2002), Fanany (2002) menyatakan bahwa plagiarisme disamping melanggar kode
etik organisasi keilmuan atau afiliasi kita, sehingga akan membawa konsekwensi
terhadap kita. Disamping itu akan menurunkan kredibilitas kita dan tidak
menutup pemungkinan akan menimbulkan konsekwensi hukum. Memang teknologi saat ini membuat kita
terlalu mudah menelusur dan mendapatkan essai dan membayarnya dangan kartu kredit
dan mengunduhnya. Jangan dikira bahwa dosen kita tidak mempunyai cara untuk
menangkap tindak plagiat itu. Kemajuan yang dicapai saat ini adalah munculnya
alat bantu berupa mesin anti plagiarisme yang mulai ada di pasaran bebas.
Selain itu, perilaku penjiplakan akan lebih mudah ketahuan karena akses terhadap
informasi lebih luas. Orang menciptakan pangkalan data bibliografis bahkan teks
lengkap yang bisa diakses tanpa batas geografis dan waktu. Banyak perpustakaan
universitas dan lembaga penelitian mendokumentasikan disertasi dan thesis S2
dan menyebarkan informasi tersebut ke perpustakaan perpustakaan lain sehubungan
dengan pemanfaatan koleksi bersama. Dengan demikian, perilaku plagiarisme lebih
mudah terditeksi.
Munculnya Internet dan World Wide Web sebagai sumber informasi, wahana penerbitan, dan
forum dialog menyerupai suasana perpustakaan dalam dunia nyata informasi
tercetak. Dilihat dari dimensi teknologi, Internet mirip teknologi yang ada
dalam dunia nyata perpustakaan. Rasanya kita saat ini ada dalam dua dunia:
sebelah kaki masih berada (barangkali akan selalu) dalam dunia teknologi
pencarian kembali informasi dengan kartu katalog, walaupun kaki sebelahnya sudah
menginjak informasi digital dengan mesin pencari yang bisa mengantar kita ke
belahan bumi lain hanya dengan menuliskan sepatah-dua patah kata.
Dengan bekal kompetensi penelusuran informasi akan
menyusun dengan efektif proposal untuk
hibah penelitian atau beasiswa, penyusunan karya ilmiah, thesis, desertasi,
atau artikel jurnal. Dalam penelitian lapangan, kemampuan penelusurn bermanfaat
terutama untuk mengenal lapangan penelitian secara garis besar. Literatur dasar
ini dapat dijadikan bekal untuk akses ke seorang gate keeper atau menentukan responden atau informan.
Munculnya Internet dan dokumen digital yang cepat
perkembangbiakannya dan sifat dasar digital yang mudah dimanipulasi, menguji
iman kita untuk menjiplak. Untuk menghindari itu kita perlu mendokumentasikan
informasi yang kita sitir dengan catatan kaki, referensi atau referensi dalam
tanda petik dan harus menuliskan bibliografi, referensi atau halaman karya yang
disitir serta menempatkannya pada akhir. Hal penting yang perlu kita ingat adalah dengan
menyebutkan sumber
Kita perlu mengendalikan dan mendidik diri kita
sendiri, mengingatkan sejawat dan mahasiswa kita jika mengetahui adanya
kecurangan ilmiah, dan menaai standar
yang ditetapkan. Jika tidak, kecurangan ilmiah ini akan menyiksa diri kita. Walaupun
dosen atau teman kita tidak tahu bahwa kita telah mencontek dengan
sempurna, kita tidak memperoleh
pelajaran apa apa dari proses penulisan atau tugas ini. Waktu dan biaya yang
kita keluarkan tidak akan membawa manfaat bagi kita.
Menelusur informasi, meneliti, menyusun laporan,
dan menerbitkan temuan kita sebagai karya tulis ilmiah adalah sebuah amalan
atas keimanan kita pada sebuah disiplin keilmuan yang akan tercermin pada
kualitas kesarjanaan kita. Sementara untuk mengemban tugas sebagai anggota
masyarakat keilmuan dalam menafsirkan gejala alam dan sosial demi kesejahteraan
umat manusia harus dilandasi kejujuran dan menghargai jerih payah peneliti
terdahulu.
Referensi
Click, Amanda and Petit,Joan (2010),
Social
networking and Web 2.0 in information literacy The International Information & Library
Review 42, (2): 137-14
Alton Y.K. Chua and Dion H Goh A study of Web 2.0
applications in library websites Library & Information Science Research
32,
(3): 203-211
ALA (2011)
Best Free Reference Web Sites 2011. 13th Annual List RUSA Machine-Assisted
Reference Section (MARS) available at http://www.procon.org/sourcefiles/rusa-best-free-reference-web-sites-2011.pdf
Best Free Reference Websites: Twelfth Annual List. RUSA
Machine-Assisted Reference Section http://www.rusq.org/2010/10/03/best-free-reference-websites-twelfth-annual-list/
Cao,
Dongmei. (2009). Chinese Library 2.0: Status and Development. Chinese
Librarianship: an International Electronic Journal, 27. URL: http://www.iclc.us/cliej/cl27cao.htm
Hellyer, Paul, "Reference 2.0: The Future of
Shrinking Print Reference Collections Outstanding Business Reference Sources: The 2010
Selection of Recent TitlesDec 29th, 2010
by RUSQ. BRASS
Business Reference Sources Committee available at http://www.rusq.org/2010/12/29/outstanding-business-reference-sources-the-2010-selection-of-recent-titles/
IFLA (2008) Digital Reference Guidelines Reference and Information Services
Section
International Federation of Library Associations and Institutions.
http://archive.ifla.org/VII/s36/pubs/drg03.htm
Boswell, Wendy , How To Evaluate a Website: Is It Worthy of
a Citation? By About.com Guide. http://websearch.about.com/od/referencesearch/a/evaluatesource_2.htm
Fanany,
Ismet (1992) Plagiat-plagiat di MIT tragedi akademis di Indonesia. Jakarta:
Haji Masagung. pp. 164 termasuk lampiran.
Harnad, S.
(1996) Implementing Peer Review on the Net: Scientific Quality Control in
Scholarly Electronic Journals. In: Peek, R. & Newby, G. (Eds.) Scholarly
Publication: The Electronic Frontier. Cambridge MA: MIT Press. Pp. 103-108.
Harnad, S.
(1997) Print Journals: Fit for the Future?,
Ariadne, January 1997 http://www.ariadne.ac.uk/issue7/intro.html
Hermalin, Benjamin E. (2003) Scholarly Journal
Publishing in the 21st Centgury. Sylabus. http://www.syllabus.com/print.asp?ID=7440
Martin, B. (1994) Plagiarism: a misplaced emphasis, Journal
of Information Ethicss, Vol. 3, No. 2, fall, pp. 36-47. http://www.uow.edu.au/arts/sts/bmartin/pubs/92prom.html
Mc. Donnel (1994) The Scholarly Journal : the
Changing Nature of the Scholarly Journal. http://www.slais.ubc.ac/courses/libr500/fall1999/www_presentation/K_mcdonell/electronic1.htm
Langganan:
Postingan (Atom)