Kamis, 06 September 2012

Perpustakaan di Tengah Generasi Digital Native

Rosa Widyawan
Abstrak
Pemustaka millenial yang menjadi kelompok utama pemustaka dengan kebutuhan atau minat informasi yang spesifik, dan kemungkinan memerlukan pelayanan yang spesifik pula. Dalam menghadapi masalah ini, pustakawan perlu mengasah kompetensi mereka. Makalah yang dimaksudkan untuk membangun diskusi pemustaka orang muda ini menyajikan ciri-ciri kaum Digital Native, kemungkinan munculnya masalah yang dihadapi perpustakaan, dan menawarkan jalan keluar, yakni memperkuat kompetensi pustakawan
Keywords: Young adult library users// Library services//Social Networking// Librarian competency.

Pendahuluan
Orang muda (berusia antara 15 – 39 tahun) saat ini mendominasi pektrum demografis Indonesia. Inilah generasi millennial atau  generasi Y, generasi digital native, atau disebut juga Echo Boom generation dilahirkan pada kurun 1980-2001, yang saat ini sedang berada di sekolah, universitas dan menginjak dewasa.
Salah satu hal yang menakjubkan terjadi pada masa remaja adalah perkembangan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi, dan mengembangkan kepribadian serta pemikiran kritis. Oleh karena itu muncullah karya-karya unggul dalam bidang sains dan teknologi melalui berbagai olimpiade, bidang ekonomi terutama industri kecil dan menengah, dan bidang seni rupa maupun seni panggung. Prestasi ini salah satu pengaruh positif globalisasi. Dalam hal adaptasi terhadap teknologi komunikasi dan informasi, memang kaum digital native lebih adaptif.  Hal ini tidak mengherankan, karena mereka dikelilingi teknologi digital sejak bayi, sementara yang lain tumbuh  dan mempunyai pengalaman luas berkaitan dengan Web dan teknologi informasi lain. Konsekwensinya, orang muda mempunyai gaya mencari dan menggunakan informasi yang berbeda seperti apa yang digambarkan oleh Prenski (2001) bahwa perbedaan yang mencolok adalah dalam pemahaman teknologi informasi. Digital Native yang saat ini sedang berada di sekolah, universitas dan menginjak dewasa, berinteraksi dengan generasi sebelumnya, yakni para digital migrant. Generasi Migran Indonesia mengenal komputer pada pertengahan dasawarsa 70-an (Mainframe dan Mini Computers), dasa warsa berikutnya mereka baru mendapatkan Personal Computer di pasaran, dan mengenal Internet pada pertengahan dasawarsa 1990-an. Dari segi fisik mereka mulai mengalami degradasi seperti pengeriputan kulit, kebotakan, erectic dysfunction pada lelaki, dan gangguan tulang seperti osteoarthiritis. Boeree (1997) menyebutkan bahwa sebagian orang dewasa mungkin  mencapai tahap ini dan menyesali pengalamaman dan kegagalan mereka. Mereka mungkin takut mati karena masih ingin berjuang menemukan tujuan hidup. Barangkali mereka telah mencapai segalanya dalam kehidupan, cenderung beranggapan bahwa dialah yang paling benar.
Dengan cara pandang dan pemanfaatan informasi tidak menutup kemungkinan adanya friksi ketika mereka bekerja sama. Pustakawan yang rata-rata digital migrant yang sebagian masih gaptek  (gagap teknologi) berusaha untuk memberikan  bantuan pelayanan perpustakaan pada generasi digital native yang rata-rata piawai dalam teknologi komunikasi dan komputer. Keadaan ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan para pustakawan dalam memberikan pelayanan, mengingat pemustaka millenial kini  menjadi kelompok utama pemustaka dengan kebutuhan atau minat informasi yang spesifik, dan kemungkinan memerlukan pelayanan yang spesifik pula.
Mengenal Pemustaka Digital Native
Semua masalah kontekstual di atas  remaja yang selalu mengandalkan teknologi informasi, muncullah  perkembangan etika pribadi dan pemikiran kritis. Mereka adalah golongan yang mempunyai rasa percaya diri tinggi, segalanya memungkinkan untuk meraih mimpi, untuk  jadi dirinya sendiri, mengejar kesenangan. sehingga tidak mengherankan dalam mengerjakan tugas kebanyakan para remaja menunggu sampai menit terakhir untuk mengerjakan tugas rumah yang memerlukan sumber perpustakaan, dan disamping dikenal sebagai orang yang pandai dalam masalah komputer. Mereka lebih tertarik pada online game, dari pada mengerjakan pekerjaan rumah.
Orang muda lebih individualistik dibanding generasi sebelumnya, dan mencari selalu mencari otonomi dalam berpendapat dan perilaku. Banyak diantar mereka mereka suka bekerja dalem kelompok untuk berbagi gagasan dan bakat.
Orang muda tentu berambisi untuk menjadi sebih kuat bagi mereka yang kuliah, kepiawaian teknis merupakan langkah pertanyanya. Mereka penuh haraman karena menggunakan kebiasan dan lingkungan sekitar, Banyak diantara mereka mengharapkan harapan besar untuk gaji, keluwesan kerja, gaya hidup, teknologi dan masa depan.
Masih hangat dalam ingatan kita Polisi Ganteng yang muncul yang diunggah oleh Sherina Munaf di Tweeter, atau Udin Sedunia muncul di Youtube dan meraih popularitasnya, dan kaum muda mempunyai peluang untuk terkenal bagi orang biasa untuk mencari khalayak di internet atau tayangan Reality TV. Mereka terbuka dan merasa lebih nyaman dengan interaksi sosial. Dalam hal interaksi sosial mereka tidak segan untk berbagi perasaan dan informasi pribadi. Mereka mempunyai kesempatan untuk berbagi secara online. Oleh karena itu mereka akan mengharapkan sekaligus memberikan masukan-masukan yang tulus.
Orang muda kebanyakan selalu tersambung dan menikmati kenyamanan komunikasi elektronik dan nirkabel, mereka selalu dapat akses, interaktif dan terbuka. Mereka tampak selalu berpindah dan kita dapat melihat orang muda bekerja di luar kantor, di lobby hotel, bandara, stasiun KA, cafe atau tempat umum lain yang nyaman untuk bekerja, dengan kata lain mereka selalu bergerak.
Kondisi sosial dan ekonomi yang tidak stabil membuat mereka lebih independen dibanding para generasi sebelumnya, masa kecil mereka akrab dengan ketidak pastian, tidak dapat diduga dan tidak pasti. Banyak diantara mereka tidak mempunyai harapan untuk pekerjaan tetap. Oleh karena itu sering melihat orang muda berpindah-pindah pekerjaan.
Diantara mereka  banyak bosan dan kecewa jika alur informasi lambat dan perhatian mereka bisa dialihkan dengan multi tasking. Kenyakan kaum muda itu asosiatif banyak yang terlibat pada gerakan sosial dan  dengan misi kerakyatan. Merek ingin segera mengakses informasi secara instan, dan selalu on. Banyak diantara mereka tidak sabar walaupun banyak mereka mereka yang menjadi ahli atau menjadi terkenal dengan cara dadakan.
.
Mengklik tanpa Menyimak
Jika kita menghadapi kaum remaja di meja referensi perpustakaan umum, kita akan mengalami kejadian menarik sekaligus menantang. Misalnya karena sifat transisi remaja tertarik  pada topik seperti musik pop Dustin Beiber, Dangdut Koplo, atau karya teenlit, dan   susastra genre mutakhir lainnya. Kemudian ini akan menjadi rumit dengan kenyataan bahwa  banyak pustakawan yang generasi sebelumnya  tidak mengenal atau tidak nyaman dengan minat ini, karena mereka masih fanatik pada the Rolling Stones, the Queen atau Rhoma Irama – Rita Sugiarto. Topik yang bisa dianggap rutin bagi pustakawan sebagai problematika ketika banyak pemustaka remaja menginginkan informasi yang sama. Banyak orang tua mempertahankan kedewasaan remaja mereka dengan memberi pembatas informasi dan format apa yang bisa diakses. Ini dapat menimbulkan masalah bagi pustakawan yang pelayanan mereka terhadap remaja memerlukan pemahaman yang jelas terhadap perkembangan dunia remaja.
Saat ini kita menyaksikan banyaknya karya tulis mereka dalam skywriting maupun tercetak yang mencerminkan sikap mereka keseharian,  yakni minimnya ketrampilan literasi mereka (Terus terang ini adalah spekulasi saya, karena banyak karya mereka yang sahih dan dapat dipercaya). Dalam sebuah pertemuan staf pengajar, seorang mengeluhkan kualitas skripsi mahasiswa bimbingannya dengan mengatakan bahwa bab II dan Bab II skripsi mahasiswa yang dibimbingnya rata-rata mirip.
Mungkin terlalu prematur jika mengatakan mereka melakukan plagiarisme. Eufisme yang tepat adalah ketrampilan literasi informasi mereka minim, dan pernyataan ini akan berujung pada karakteristik mereka yang  mengakses informasi secara instan, dan tidak sabar walaupun banyak mereka mereka yang menjadi ahli atau menjadi terkenal dengan cara dadakan segera meroket, kadang tidak realistis, karena tidak menghargai sebuah proses pembelajaran.
Ada benarnya jika ketrampilan penelusuran web sekaligus kepiawaian komunikasi berbasis Web tidak sama dengan berpikir kritis, walaupun penguasaan dan pemanfaatan teknologi yang tepat itu bermanfaat untuk membantu tujuan akademis.
Kita dapat menyaksikan kegagapan para pemustaka digital native dalam mengevaluasi informasi yang diperolehnya antara lain dari karya-karya literature review mereka yang hanya menuliskan literature yang telah mereka baca tanpa mengemukakan perbandingan dengan literature lain, atau menunjuikkan keunggulan dan kelemahan literature yang mereka baca.
Sering pula kita baca karya kaum digital native terkesan sekadar menduplikasi informasi, baik pada karya tercetak maupun elektronikm, walaupun mereka menyebutkan sumbernya. Kemungkinan tindakan ini cerminan kegagapan mereka dalam mengevaluasi, menganalisa, dan mensintesakan informasi yang mereka peroleh untuk menciptakan pengetahuan baru. Hal seperti ini dapat kita lihat ketika kita menelusur sebuah informasi yang sedang trend. Kita akan melihat banyak inoformasi yang sama di lokasi berbeda Barangkali pengalaman mereka dalam berbagi, memanfaatkan freeware, dan ketersediaan file video musik mengarah pada asumsi jika semua berbentuk digital, adalah milik semua orang.
Terdapat kecenderungan mereka sekadar mengklik, tanpa menyimak dan  mereka belum tahu mencari informasi secara kritis dan sistematis. Kecenderungan seperti ini mencerminkan bahwa mereka belum literate informasi.
Bekerja dengan Digital Native
Aspek lain perkembangan kaum remaja adalah kesadaran diri yang ekstrim. Dengan perkembangan kemampuan berfikir abstrak dan pengalaman yang terbatas, para remaja merasa bahwa mereka adalah pusat dunia. Egosintris membuat mereka mudah merasa malu karena mereka merasa berantakan, dan mereasa bahwa seluruh dunia mengwasinya. Oleh karena itu pustakawan referensi perlu memberikan  pelayanan yang sopan dan menjaga kerahasiaaan.  Remaja tidak akan mengajukan pertanyaan jika mereka tidak bisa dipercaya. Pelayanan hendaknya jangan menghakimi karena dengan tidak menatap mata atau bereaksi bahwa pertanyaannya seolaholah hanya main-main akan membuat mereka tersinggung. Semua ini membuat pelayaanan referensi bagi remaja itu unik dan menantang.

Berikut ini rekomendasi untuk melayani digital native:
•    Jangan langsung bereaksi.
•    Konsisten
•    Jangan berharap remaja mengetahui peraturan atau berperilaku seperti yang kita harapkan
•    Ciptakan situasi win-win
•    Berlakulah seperti yang anda minta mereka berperilaku
•    Mereka sering tidak sadar akan hambatan waktu
•    Jangan diambil hati
•    Pakailah nada suara yang positif dan berwibawa.
•    Dapat diandalkan, dipercaya, menarik, responsif dan empati

Agaknya jarang kita temui kamum Digital Native di kota-kota besar yang tidak menyukai elektronic game, tidak mempunyai aku Facebook, atau jejaring sosial lainny. Oleh karena itu tidak ada salahnya dalam kursus ketrampilan literasi inromasi, instruksi bibliografi atau bimbingan pemustaka, pustakawan menggunakan game seperti yang bisa kita lihat pada Techsource blog. Pada situs ini kita akan melihat permainan interaktif dikembangkan untuk  generasi muda, mengajar ketrampilan keberaksaraan informasi, misalnya dalam lingkungan sosial yang kolaboratif yang nyaman untuk pemustaka. Permainan-permainan semacam ini barangkali lebih cocok untuk remaja, karena  mereka lebih suka lingkungan belajar yang melibatkan mulitmedia, permainan peran online muliti demensi.
Dengan demikian, dalam keadaan seperti ini pustakawan harus fokus pada bimbingan atas dasar permintaan, membantu remaja ketika mereka kesulitan dalam mencoba-coba. Oleh karena itu sebaiknya tidak perlu menyarankan hanya satu-satunya cara yang dianggap tepat. Tawaran pelayanan melalui surel, pesan instan dan pesan singkat mungkin akan lebih disukai remaja.
Pustakawan harus fokus dan siaga terhadap perubahan, bukan karena banyaknya pemustaka remaja, tapi karena konsumen yang berbeda  untuk mengetahui minat pelayanan perpustkaan dan perpustakaan umum dan kemungkinan jarang mencari pelayanan konvensional. Generasi yang lebih tua kemungkinan lebih progresif menjadi pemustaka. Kaum muda berkomunikasi dengan teknologi media sosial mengunjungi perpustakaan untuk bersosialisasi dan berkolaborasi. Mereka tampaknya memadukan teknologi dalam kehidupan mereka karena memang  tumbuh berkembang dengan teknologi dan Internet.
Dalam situasi seperti ini sebaiknya pustakawan mengasah kompetensi dasar, maupun kompetensi tingkat tinggi mereka. Kompetensi dasar antara lain kemampuan  menyiasati perubahan dengan melihat perubahan   dari sisi positif, kita khawatir tidak menyediakan pelayanan terbaik pada pemustaka lebih daripada kekhawatiran kita terhadap berubaha. Kedua mampu merasa nyaman dengan media online. Kita perlu melakukan kegiatan online diluar kegiatan rutin penelusuran pangkalan data dan katalog yang tidak kalah sulitnya dibanding kegiatan online yang lain. Pustakawan harus mampu menggunakan dan memanfaatan mesin pencari dengan baik. Tentu saja pustakawan berusaha mengevaluasi kualitas sumber-sumber online, termasuk kemampuan untuk menyelesaikan masalah teknologi sederhana, misalnya bagaimana mengatasi kemacetan printer karena kertas kusut. Pustakawan perlu menguasai teknologi di perpustakaan, mempelajari masalah yang sering muncul dan memperbaikinya bila perlu. Kemampuan untuk belajar teknologi baru merupakan kompetensi dasar, walau teknologi baru selalu muncul di perpustakaan. Rupanya kita perlu belajar bagai mana mempelajari teknologi baru di perpustakaan tanpa selalu meminta bantuan orang lain. Kemampuan untuk mengikuti teknologi baru dan perkembangan kepustakawanan merupakan antusiasme untuk belajar. Pengetahuan ini tidak cukup hanya mendengar dari sejawat, tetapi perlu praktikkan. Lima tahun yang lalu orang banyak membicarakan blog dan Instan Massaging di perpustakaan, sekarang sudah ada beberapa perpustakaan menerapkan fasilitas ini.
 Sementara itu kemampuan tingkat tinggi terdiri dari Kemampuan mengelola proyek. Ini merupakan kemampuan tingkat tinggi yang perlu dimiliki pustakawan. Misalnya jika kita ingin meyelenggarakan Pelayanan Referensi Maya (Virtual Reference Service), pertama-tama kita tentu perlu membuat proposal pada atasan dengan contoh perpustakaan lain yang telah melaksanakan program referensi maya dan bagaimana perpustakaan kita menerapkan program itu denan menentukan sarana yang digunakan, pelatifhan staf, para pemustaka potensial, sosialisasi program dls. Pekerjaan ini tentu memerlukan waktu yang cukup, ketika atasan setuju, kita perlu mendelegasikan tugas pada sejawat dan mengajak yang lain untuk bekerja dalam satu tim. Disamping itu, kemampuan untuk berbicara dan bekerja dengan orang di luar perpustakaan misalnya orang Komputer, dosen, atau anggota kemounitas. Pustakawan sebaiknya mempunyai kemampuan membuat proyek dari gagasan sampai menjadi kegiatan yang berdampak (mengadakan pelatihan, pemasarang, dan menjaga kelangsungan pekerjaan).
Kemampuan untuk mengevaluasi pelayanan perpustakaan. Sering kali di perpuatakaan kita mempunyai kebijakan yang sia-sia, tidak membantu siapa-siapa. Mungkin pada masa lampau pekerjaan yang kita lakukan itu benar-benar membantu pemustaka, atau barangkali hanya bermanfaat bagi pustakawan saja? Dalam hal ini kita perlu selalu mempertanyakan apakah program kita berdampak pada pemustaka.
Seorang pustakawan di era seperti sekarang hendaknya mampu mengevaluasi kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders). Pustakawan perlu memahami perubahan cara perpustakaan memberikan pelayaanan akan berdampak pada semua pemangku kepentingan. Kadang-kadang kita hanya memperhatikan kebutuhan satu grup dan mengabaikan bahwa perubhan akan menguntungkan satu grup itu tidak menguntungkan yang lain. Dengan adanya perubahan, para pustakawan perlu membuat daftar pemangku kepentingan dan mendiskusikan dampak pelayanan pada mereka.
Visi untuk menerjemahkan pelayanan perpustakaan pada medium online, yakni dengan perkembangan belajar jarak jauh dan fakta bahwa banyak pemustaka yang mengakses perpustakaan dari Internet, pustakawan perlu mampu menerjemahkan pelayanan perpustakaan kedalam medium online. Penerjemahan ini termasuk pelayanan referensi dan bimbingan pemustaka atau program literasi informasi.
Mengkritisi dan membandingkan tiknologi merupakan pekerjaan yang sulit, misalnya memastikan sebuah alat baru tepat untuk sebuah pekerjaan perpustakaan. Kita perlu mengetahui persyaratan  sarana teknologi untuk melaksanakan proyek. Kita harus dapat membandingkan versi perangkat lunak yang sama agar dapat memilih versi yang paling tepat untuk pemustaka kita. Teknologi memang suatu kebutuhan, akan tetapi  kita perlu realistis berkenaan teknologi yang benar-benar dibutuhkan oleh pemustaka.
Kemampuan untuk menjual gagasan pelayanan perpustakaan. Walaupun seorang pustakawan Indonesia tidak dibekali dengan ketrampilan pemasaran dan salesmanship, kita perlu mengasah kemampuan itu. Gagasan pelayanan bisa kita jual pada para pembuat keputusak, orang-orang IT, dosen, peneliti atau mahasiswa. Ketika kita menyediakan pelayanan baru, kita harus memasarkannya pada pemustaka. Siapakah yang harus memasarkan gagasan penanggulanan digital devide dan Literasi Informasi, kalau bukan pustakawan itu sendiri.

Kesimpulan
Dunia perpustakaan saat ini cenderung interaktif, dengan pemustaka yang sebagian besar adalah kaum digital native. Untuk menghadapi masalah kesenjangan terkait dengan pelayanan perpustakaan, pustakawan sebaiknya mempersiapkan dan memperkuat kompetesi dasar dan kompetensi tingkat tinggi mereka.
Sebaiknya sekolah perpustakaan mengajarkan cara menjual pelayanan perpustakaan dan gagasan baru untuk para pemangku kepentingan. Ketrampilan evaluasi praktis dapat juga diajakan, ini tidak selalu mudah untuk menyebutkan mana yang dapat dilaksanakan dan mana yang tidak. Beberapa Sekolah perpustakaan  mungkin mengajarkan mata kuliah Manajemen Proyek, dan dalam kuliah itu mengajarkan mengevaluasi perangkat lunak, yang juga kelas yang membahas pelayanan perpustakaan tradisional.
Teknologi itu datang dan pergi. Perubahan tidak bisa dihindari, tapi pustakaan dapat mengatasinay, dan dapat belajar dengan mudah, dapat mengikuti perubahan yang terjadi pada profesi yang mereka imani, dapat merencanakan dan mengevaluasi pelayanan yang mereka berikan, dan mampu menjal gagasan pelayanan mereka, tentu akan memenuhi tantangan pemustaka yang sedang berubah ini.

Daftar Rujukan
Boeree C.G (2006) Personality Theories: Erik Erikson  1902 - 1994  available at http://webspace.ship.edu/cgboer/erikson.html
Jaschik, S.  (2007)  When 'Digital Natives' Go to the Library  Inside Higher Ed. June 25, http://www.insidehighered.com/layout/set/print/news/2007/06/25/games
Prensky,  M. (2001) Digital Natives, Digital Immigrants On the Horizon (MCB University Press, Vol. 9 No. 5, October 2001) available at http://www.marcprensky.com/writing/prensky%20-%20digital%20natives,%20digital%20immigrants%20-%20part1.pdf