Selasa, 17 April 2012

Pelayanan Referensi, Bimbingan Pemustaka, dan Literasi Informasi (LI)

oleh Rosa Widyawan

Walaupun banyak orang menganggap bimbingan pemustaka berkembang di luar pelayanan referensi, namun bimbingan dan pelayanan  referensi itu merupakan reaksi  terhadap mereka yang tidak bisa menggunakan perpustakaan secara efektif, walaupun pemustaka itu seorang spesialis maupun ilmuwan.  Pernyataan ini ada benarnya karena beban pekerjaan pelayanan referensi akan terasa lebih  berat mengingat banyaknya pemustaka yang dilayani. Sementara itu, pelayanan referensi memberikan peluang  terselenggaranya bimbingan pemustaka yang efektif. Pemisahan program bimbingan dari pelayanan referensi  mendorong munculnya pertanyaan tentang hubungan pelayanan referensi, bimbingan pemustaka dan literasi informasi. Apakah masing-masing istilah ini saling bertentangan, berdiri sendiri, atau bahkan saling menunjang. Pertanyaan ini tentu menarik untuk didiskusikan dalam bab ini.
            Bimbingan pemustaka, dalam istilah Ilmu Perpustakaan dan Informasi disebut dengan Library Instruction, bibliographic instruction (BI), user education dan library orientation,  berisi program bimbingan yang dirancang untuk mengajari pemustaka agar memperoleh informasi yang mereka perlukan dengan cepat dan efektif. Bimbingan ini mencakup sistem perpustakaan dalam menyusun bahan pustaka, struktur literatur bidang ilmu tertentu,  metodologi riset yang tepat untuk disiplin ilmu tersebut, dan sumber-sumber khusus serta sarana penemu seperti katalog, pelayanan indeks dan abstrak, pangkalan data bibliografis dls. Bimbingan ini disiapkan untuk mereka agar mampu menggunakan informasi langsung dan seumur hidupnya secara efektif dengan mengajarkan konsep dan logika akses informasi serta evaluasi dan mendukung pengembangan informasi dengan berfikir kritis dan mandiri.
            Selama 1970-1980-an sebelum komputer banyak digunakan seperti sekarang ini, bimbingan pemustaka menjangkau diluar pengajaran mekanisme menengarai dan mendapatkan bahan pustaka di perpustakaan. Program ini termasuk menjari berfikir kritis, pembelajaran partisipatori dan pengajaran konsep seperti kendali kosa kata. Bimbingan pengguna terpusat pada  fisik perpustakaan, tempat para pemustaka mencoba pelajaran yang telah didapatkan. Bagaimanapun juga, intinya tetap mengajar, oleh karena itu pemustaka perlu menyesuaikan apa yang telah mereka pelajari terhadap situasi  yang selalu berubah, misalnya sarana referensi yang baru, lingkungan baru, sehingga pustakawan bisa menghembuskan ruh bimbingan pengguna adalah mengajar bagaimana belajar.
            Terminologi yang terkait erat dengan bimbingan pemustaka adalah literasi informasi yakni kemampuan untuk menengarai informasi yang dibutuhkan, memahami bagaimana informasi itu disusun, menengarai sumber paling cocok pada kebutuhannya itu, mampu mendapatkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi sumber yang didapatkan secara kritis, dan berbagi informasi.



  1. Sejarah Literasi Informasi
Istilah Literasi Informasi (LI) pertama kali muncul pada 1974 dilaporkan oleh Paul G Zurkowski, menulis atas nama the National Commission on Libraries and Information Science. Dia  menggunakan istilah ini untuk menggambarkan ketrampilan dan teknik yang dimiliki seseorang yang literat informasi untuk memanfaatkan sejumlah sarana informasi  yang juga sebagai sumber utama membuat solusi informasi terhadap masalah mereka. LI merupakan ketrampilan yang diperlukan untuk mengenali informasi yang diperlukan dan kemampuan memperoleh, mengevaluasi dan memanfaatkan informasi tersebut secara efektif. Catts (2010) mencatat bahwa Literasi Informasi diungkapkan  dalam Proklamasi Alexandria 2005, sebagai aspek penting bagi seseorang untuk meraih tujuan pendidikan, pekerjaan, tujuan sosial atau pribadi. Oleh karena itu,  ketrampilan LI penting bagi orang yang belajar sepanjang hayat untuk menyumbangkan gagasannya pada komunasit pengetahuan, sehingga tidaklah berlebihan jika Ketrampilan LI didukung oleh Information for All Programme (IFAP) UNESCO dianggap sebagai hak azasi. Ketrampilan LI ini penting untuk pengembangan pengetahuan masyarakat karena memberdayakan orang untuk:
·         Mengenali informasi potensial yang ada untuk menginformasikan keputusan-keputusan dalam kerja, kesehatan, dan dalam keikutsertaan sebagai warga negara
·         Menciptakan pengetahuan tepat guna;
·         Dan memainkan peran sebagai orang dewasa yang otonom

Selanjutnya Catts mendifinisikan orang literat informasi adalah orang yang dapat:
·         Menengarai kebutuhan informasi mereka
·         Mendapatkan dan mengevaluasi kualitas informasi;
·         Menyimpan dan menemukan kembali informasi;
·         Memanfaatkan informasi secara efektif dan beretika, dan
·         Menerapkan informasi untuk menciptakan dan mengkomunikasikan pengetahuan.
Kelima elemen ini tidak harus dilihat sebagai proses yang linier, namun elemen yang saling terkait, dalam satu konstruksi. Misalnya, seseorang memperoleh informasi akan tahu manfaat potensial, menggungakan informasi yang memang diinginkan, sebelum mengevaluasi sumber dan menegarai kebutuhan informasi. Bisa saja kemudian mereka menyimpannya untuk digunakannya nanti.
            LI membentuk dasar untuk belajar sepanjang hayat. Hal seperti  ini umum untuk semua disiplin, untuk semua lingkungan pembelajaran dan untuk semua tingkat pendidikan. LI membuat pelajar menguasai isi dan ruang lingkup pengamatan, menjadi lebih mandiri dan mempunyai kendali yang lebih besar terhadap proses belajarnya sendiri. ACRL (2004) menyatakan bahwa seorang yang Literat Informasi mampu:
  • Menentukan ruang lingkup informasi yang diperlukan
  • Mengakses informasi secara efektif dan efisien
  • Mengevaluasi informasi dan sumbernya secara kritis
  • Menggabungkan informasi terpilih kedalam pengetahuan dasar seseorang
  • Memanfaatkan informasi secara efektif untuk mencapai tujuan khusus
Memahami masalah sosial, ekonomi dan legal yang terkait dengan pemanfaatan informasi, serta mampu mengakses dan memanfaatkan informasi secara legal dan beretika.
Pada tanggal 10 Januari 1989, The Presidential Committee on Information Literacy  menerbitkan laporan, menekankan arti penting LI, dan adanya peluang untuk mengembangkan LI di sekolah. Komisi ini merekomendasikan terbentuknya Forum Nasional Literasi informasi, sebuah koalisi 90 organisasi nasional dan internasional. Perkembangan mencolok dalam hal ini adalah meningkatnya perhatian terhadap proses belajar daripada proses mengajar. Pada tahun 1989 American  Library Accociation Presidential Commitiee on Information Literacy mengimbau orang mengembangkan LI untuk ikut ambil bagian dalam dinamika masyarakat informasi. Dalam laporan ini, LI dirumuskan sebagai kemampuan untuk mengenali apabila informasi itu diperlukan, mempunyai kemampuan untuk mendapatkan, mengvaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif, dan menekankan bahwa literasi informasi itu penting untuk belajar sepanjang hayat. Komite ini kemudian menetapkan tujuan khusus pendidikan LI, menetapkan sebagian dari sembilan standar dalam kategori LI, belajar mandiri, dan tanggungjawab sosial.  Pada tahun yang sama Komite mempermbbarui laporan akhir, dengan menguraikan enam rekomendasi utama, laporan baru ini melakukan advokasi LI dan menegaskan arti penting program ini.
Pada 1998, the American Association of School Librarians dan  the Association for Educational Communications and Technology menerbitkan Information Power: Building Partnerships for Learning, yang kemudian menetapkan tujuan khusus utnuk pengajaran LI, sembilan standar  yang masuk kedalam kategori LI, belajar mandiri, dan tanggungjawab sosial. SCONUL (2011)  the Society of College, National and University Libraries in the UK, menerbitkan  The Seven Pillars of Information Literacy model yang selalu diperbarui sampai saat ini, untuk memberikan kemudahan perkemangan gagasan diantara praktisi dalam bidang itu. Mendorong tumbuhnya debat tentang gagasan dan penerapan  gagasan oleh perpustakaan universitas dan staf terkait dengan ketrampilan mahasiswa. Sejak itu para pustakawan dan peneliti di sejumlah negara tertarik mengadakan penelitian dan mengembangkan standar LI.
Pada tahun  2003, the National Forum on Information Literacy bersama  UNESCO dan  the National Commission on Libraries and Information Science, mensponsori konferensi internasional di Praha dengan wakil dari duapuluh tiga negara untuk membicarakan  arti penting LI dalam konteks global. Hasilnya adalah Deklarasi Praha yang menggambarkan bahwa LI sebagai kunci pembangunan sosial, budaya dan ekonomi bangsa dan komunitas, lembaga dan pribadi di abad kedupuluh satu, dan mendeklarasikan bahwa  LI adalah bagian hak asasi manusia untuk belajar sepanjang hayat.
Sejak konferensi internasional di Praha, topik LI banyak dibicarakan orang  di banyak negara berkembang.   Unesco Indonesia dan Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia mengadakan beberapa seminar berkaitan denan topik ini, kemudian 2004 Universitas Katolik Atmajawa, dan Bachtar (2005) mengadakan penelitian mandiri tentang LI Tenaga Pendidik Dan Kependidikan Pendidikan Non Formal Di Propinsi DKI Jakarta, Setelah itu PDII-LIPI bekerjasama dengan Tiongkok melakukan penelitian tentang kompetensi LI di beberapa perguruan tinggi negeri Indonesia. Topik LI ini muncul dalam skala nasional ketika Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) mengadakan Kongres pada bulan November  2006 mengadakan di Denpasar, Bali.
            Literasi Informasi  menumbuhkan kesadaran nasional di Amerika Serikat dengan proklamasi. PRLOG (2009) menyiarkan bahwa Presiden Barack Obama Oktober 2009 sebagai bulan LI Nasional.  Barack Obama mengimbau rakyat Amerika Serikat agar memahami peran informasi dalam kehidupan sehari-hari dan menghargai kebutuhan pemahaman dampak LI lebih mendalam.
Perkembangan LI sebagai praktik khusus tercermin dengan semakin banyaknya literatur tentang LI yang dicatat dalam bibliografi beranotasi dalam Reference Service Review, sebuah jurnal degan mitra bestari, juga Communications in Infornation Literacy dan Journal of Information Literacy, dan adanya konferensi the Librarians’ Information Literacy Annual Conference (LILAC) pada 2005 di Inggris sebagai mitra Library Orientation and Exchange (LOEX) Amerika serikat yang kemunculannya sebagai spesialisme juga bukti perhatian yang sekarang ditujukan pada pendidikan, pelatihan dan pengembangan para praktisi sebagai pendidik LI.  Mbabu, (2009) melaporkan bahwa Sekolah Ilmu Perpustakaan dan Informasi memasukkan  LI dalam program mereka dan
Arti penting LI semakin meningkat terkait dengan  perubahan teknologi dan pelipatgandaan sumber informasi yang cepat. Karena meningkatnya kompleksitas ini, orang dihadapkan pada banyak dan beragamnya pilihan informasi, baik dalam dunia akademis, di tempat kerja dan dalam kehidupan sehari-hari. Informasi tersedia di perpustakaan, sumber komunitas, organisasi minat tertentu, media dan internet, dan semakin meningkat, informasi datang tanpa disaring, membanjir lewat media termasuk grafik, teks dan memaksa timbulnya tantangan dalam mengevaluasi dan memahaminya.
            Masalah Bimbingan Pemustaka dan LI dalam pelayanan referensi mendorong timbulnya spekulasi di kalangan pustakawan tentang perlu atau tidak mengadakan program bimbingan untuk menggunakan sistem perpustakaan, atau lebih baik menggunkan sistem perpustakaan mudah digunakan sehingga pemustaka bisa mandiri. Wacana ini memang menarik dan selalu menjadi perdebatan, karena pembuatan sistem yang mudah digunakan itu akan selalu terkait dengan perkembangan kebutuhan informasi pemustaka, kemajuan sains dan teknologi, serta perkembangan sosial.  Misalnya dengan munculnya socialtaxonomy yang memberikan pilihan terhadap penelusuran informasi, sehingga pemustaka bisa memilih kosa kata yang ditandai oleh pemustaka lain. Masalahnya tidak sesederhana ini, karena bimbingan pemustaka dan LI menyangkut banyak aspek, terutama mendorong pemustaka mampu mandiri dalam mendapatkan informasi sebagai salah satu kompetensi untuk belajar mandiri sepanjang hayat.

  1. Pendekatan Teori Bimbingan Pemustaka

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa bimbingan pemustaka mempunyai istilah bibliographic instruction (BI), user education dan library orientation yang sering digunakan secara tumpang tindih, dan seolah-olah tanpa memberikan perbedaan satu sama lain, walaupun secara maknawi berbeda.
            Untuk menyatakan bahwa masing-masing istilah berbeda, dan tidak ada ketumpangtindihan, begitu istilah itu digunakan, program yang digambarkan oleh terminolgi baru sering memasukkan kegiatan  yang digunakan dalam istilah lama, dan ini menunjukkan perkembangan dan prakarsa  baru. Barangkali ini merupakan evolusi bimbingan di perpustakaan, sekaligus menunjukan perbedaan pendekatan di kalangan perpustakaan ketika melakukan bimbingan pengguna. Untuk  itu sebaiknya kita perlu menyimak peristilahan di bawah ini:

a)      Orientasi Perpustakan
Orientasi perpustakaan (Library orientation) terdiri dari kegiatan untuk menyambut dan memperkenalkan pemustaka potensial pada  pelayanan, sumber daya, koleksi, tata ruang perpustakaan, dan penyusunan bahan perpustakaan. Orientasi perpustakaan termasuk memperkenalkan pemustaka pada fasilitas fisik gedung perpustakaan seperti meja referensi, staf,  dan kebijakan perpustakaan. Diharapkan pemustaka dapat mengembangkan ketrampilan penelusuran dan meningkatkan kenyamanan pemustaka.
Program ini memotivasi pemustaka untuk datang kembali dan menggunakan fasilitas yang ada, serta mengkomunikasikan suasana pelayanan dan keakraban yang didapatkan di perpustakaan pada teman-teman mereka.

b)      Bimbingan Perpustakaan
Bimbingan perpustakaan (Library instruction) merupakan bimbingan penggunaaan perpustakaan dengan menekankan pada prosedur khusus, koleksi , dan kebijakan. Istilah ini menekankan perpustakaan yang didifinisikan oleh parameter fisiknya. Fokus bimbingan perpustakaan adalah  penjelasan mendalam terhadap bahan perpustakaan, mengkonsentrasikan pada peralatan dan mekanisme, termasuk teknik penggunaan indeks jurnal, sumber-sumber referensi, penggunaan katalog kartu dan online, serta bibliografi. Contohnya adalah penggunaan readers’ guide abstract, mencari buku dengan subjek melalui katalog perpustakaan, penggunaaan bentuk mikro dan sumber informasi ke internet dan menggunakan referensi khusus.
            Dalam praktik bimbingan perpustakaan di perpustakaan di Perpustakaan Akademis (Fakultas), muncul beberapa kelemahan seperti  keterlibatan dan motivasi mahasiswa di kelas seperti yang dilaporkan Lorenzen, M (2002) dalam simpulan penelitiannya. Disamping itu terdapat kurangnya hubungan antar mahasiswa. Memang sampai saat ini agaknya perpustakaan fakultas belum mempunyai kewenangan untuk menilai mahasiswa. Kapoun (2000) melaporkan perjuangan perpustakaan fakultas untuk itu, dan kurangnya dukungan untuk menilai kemajuan ketrampilan mahasiswa dalam menggunakan perpustakaan dan metoda penelusuran.

c)      Bimbingan bibliografi
Istila bimbinan bibliorafi (Bibliographic instruction) dikenal pada pertenaan 1970-an  merujuk pada keiatan pendidikan yan dirancang untuk mengajar peserta ajar mencari dan menunakan informasi. Jika dibandingkan denan bimbingan perpustakaan, bimbingan bibliorafis ini jauh melampaui batasan fisik perpustakaan dan lembaga.
            Pendukung bimbingan bibliografis ini menganjurkan bahwa istilah ini lebih bisa mencerminkan kelancaran pengajaran. Pustakawan melangkah pada pemikiran kritis dan pemecahan masalah daripada sekadar pendekatan kelembaaan atau pendekatan berbasis sarana. Khususnya pada dasawarsa 1980-an menunjukkan munculnya penekanan pada pendekatan konsep teori pembelajaran. Pendekatan yang lebih konseptual terhadap bimbingan bibliografi  memfokuskan pada prinsip prinsip pengajaran daripada sarana-sarana khusus, misalnya  tentang konsep siklus penerbitan ilmiah daripada mekanisme penelusuran pada pankalan data tertentu. Tujuan pengajaran prinsip-prinsip  penyusunan dan penelusuran informasi untuk membekali peserta ajar dengan fungsi situasi informasi secara luas. Bimbingan seperti ini menekankan pada penunaan dan penembanan stratei penelusuran, pendekatan sistematis teradap, identitas, memperoleh dan penilaian informasi.

d)     Bimbingan Literasi informasi
Selanjutnya sejumlah upaya untuk memformulasikan konsep yang lebih baik dan hubungannya pada ketrampilan lain dan membertuk literasi. Namun demikian tujuan pendidikan lainnya, termasuk literasi tradisional, literasi komputer, ketrampilan perpustakaan, dan ketrampilan berfikir kritis, dikaitkan pada LI dan menjadi dasar perkembangan selanjutnya, LI muncul sebagai  sejumlah ketrampilan yang jelas dan kunci untuk kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat informasi yang semakin kompleks.

  1. Pelayanan Referensi sebagai bentuk bimbingan
Orang beranggapan bahwa pelayanan referensi merupakan bentuk bimbingan pada pemustaka paling akrab. Bantuan orang per orang dari seorang pustakawan referensi, mungkin merupakan bentuk bimbingan paling efektif, sepanjang pustakawan berkenan menularkan pengetahuan sehingga pemustaka terdorong untuk mengasah kompetensi literasinya. Idealnya, pelayanan referensi secara individu dengan sentuhan pribadi berlaku pada setiap pemustaka, kapan saja dan dimana saja pemustaka membutuhkannya. Sayangnya, membebankan bimbingan pemustaka ke pelayanan referensi tidak lah efektif dan sulit diterapkan, karena pustakawan sibuk mencari jawaban sementara sepuluh orang tampak mengantri.
            Barangkali  bimbingan pemustaka merupakan bagian dari pelayanan referensi, apabila pemustaka mengerjakan pertanyaan dengan pendekatan bimbingan, dalam arti  dia tidak hanya memberikan informasi, akan tetapi juga mengajari atau memberitahukan langkah-langkah yang dia lakukan ketika mencari informasi.
            Pada satu sisi, setiap referensi keputusan yang harus diambil  dengan memberikan jawaban lengkap, di sisi lain mengajarkan strategi penelusuran, kebanyakan berada diantara keduanya.  Walaupun seseorang yang punya minat mengajar bisa juga hanya memberikan informasi saja, karena keterbatasan waktu.
            Membuat selebaran, bibliografi, dan halaman Web, menyediakan petunjuk arah yang jelas, dan meningkatkan tata letak perpustakaan merupakan pelayanan referensi dalam kerangka bimbingan.  Langkah ini mendorong pemustaka untuk mencari informasi  sendiri, tentu saja jika mereka menginginkannya.

a)      Bimbingan pemustaka sebagai pelayanan tersendiri
Pelayanan bimbingan pemustaka  memberikan solusi untuk mengatasi keterbatasan meja informasi melayani pemustaka. Keluar dari fokus pustakawan sebagai penyedia informasi informasi,  bimbingan menekankan pada kemandirian informasi bagi pemustaka karena beberapa alasan antara lain:
    • Masyarakat informasi mensyaratkan anggotanya mampu mengakses, mengevaluasi dan menggunakan informasi secara mandiri.
    • Kemajun teknologi memungkinkan orang melakukan penelusuran tanpa mengunjugi perpustakaan. Runtuhnya kendala geografis dan waktu memberikan peluang alternatif pelayanan referensi.
    • Perpustakaan mengakui bahwa tidak semua kebutuhan pemustaka  dapat dipenuhi dengan pelayanan referensi tradisional, karena pelayanan ini tidak mampu menangani secara efektif setiapj permintaan bantuan dengan tingkat harapan terhadap staf yang ada.
    • Penekanan terhadap pembelajaran lebih banyak daripada pengajaran.

Sementara itu kita masih melihat banyaknya pemustaka yang gagal mengevaluasi sumber-sumber yang mereka dapatkan. Banyak temuan penelitian menunjukkan bahwa pemustaka masih banyak yang gagal dalam mengevaluasi sumber informasi yang mereka dapatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka, dan kemungkinan karena mereka cenderung tidak menyimak, akan tetapi sekadar mengklik. Keadaan ini menjadi masalah serius, karena munculnya dokumen elektronik (mudah ditransfer, dikopi, dan dimanipulasi). Mereka cenderung tergoda tindakan memotong dan menempel dokumen dalam karya tulis mereka. Minimnya kemampuan untuk menilai informasi yang didapatkan dan ketrampilan penelusuran cenderung mendorong mereka untuk mengulang gagasan penulis lain.
            Oleh karena itu sebagai profesional, pustakawan perlu melihat kembali dan mempertanyakan bimbingan pemustaka. Telah banyak perpustakaan mencoba pelayanan ini pada mereka yang mengakses informasi dari jarak jauh, menggabungkan teknologi internet kedalam program pendidikan terpadu. Baik referensi tradisional maupun bimbingan pemustaka  akan selalu  menghadapi perubahan begitu teknologi mempengaruhi hubungan antara pustkawan, pemustaka dan sumber informasi.

b)     Menerapkan bimbingan pemustaka
Bimbingan pemustaka selalu diadakan oleh perpustakaan, namun penekanannya perlu diubah selaras dengan meningkatnya tuntutan akan kepiawaian pustakawan referensi yang akrab dengan sumber-sumber referensi, serta paham dan mahir teknik penelusuran yang canggih. Pustakawan juga mempunyai kuwajiban membantu pemustaka untuk mengembangkan ketrampilan berfikir kritis sehingga memungkinkan untuk menemukan, memilih, mengevaluasi  dan menggunakan informasi secara efektif.
Dengan sumber informasi elaktronik yang bisa diakses dari mana saja,  pustakwan harus mempertimbangkan  lokasi-lokasi jarak jauh untuk mengadakan bimbingan pemustaka. Bimbingan bisa berbagai bentuk, banyak model bimbingan mandiri, orang per orang atau bimbingan kelompok. Bimbingan perpustakaan juga harus mengembangkan pelayanan mereka pada peserta ajar jarak jauh. Pemustaka perlu menggunakan sumber tercetak maupun online untuk menggunakannya secara efektif. Kemampuan yang diperlukan antara lain:
  • Menengarai bahan atau pangkalan data yang tepat
  • Teknik penelusuran
  • Analisis pertanyaan
  • Mengidentifikasi kosa kata yang relevan
  • Menyusun strtegi penelusuran

Pemustaka akan belajar efektif apabila terkait pada kebutuhan informasi langsung, jika pembelajaran berlangsung interaktif, ketika pemustaka ikut ambil bagian dalam proses belajar, ketika konsep dan ketknik diajarkan, atau penggunaan teknologi masa kini seperti Powerpoint  atau penyelenggaraan  demontrasi sumber-sumber elektronik secara langsung. Dalam keterlibatan pemustaka pada pembelajaran aktif mereka akan tergugah dengan dengan cara berfikir baru tentang informsi dan proses mencari informasi yang relefan dan belajar  bagaimana merumuskan keputusan yang lebih baik.

c)      Panduan Mandiri dan Tutorial
Begitu beban bimbingan perpustakaan semakin berat, banyak perpustakaan mengembangkan panduan mandiri dan berbagai bahan sehingga pemustaka dapat memulai orientasi perpustakaan sendiri. Bisa juga berupa panduan tur perpustakaan secara mandiri dalam bentuk tercetak maupun elektronik, yang memasukkan lembaran informasi,  bibliografi, pathfinder untuk menyediakan panduan untuk menelusur informasi bidang tertentu, atau tutorial yang dapat dibaca dan dikerjakan sendiri  oleh pemustaka.
            Semakin lama jumlah pangkalan data semakin bertambah, perpustakan tidak harus mengembangkan panduan pangkalan data elektronik saja, akan tetapi juga panduan berbasis  subjek  yang memadukan antara sumber elektronik dan tercetak untuk memberikan gambaran lengkap pada pemustaka. Beberapa  panduan yang dapat diberikan antara lain:

(i)                 Pengajaran individual
Pengajaran antar individu  menjadi lebih intensif dengan munculnya CD-ROM, pelayanan online dan Internet. Pemustaka harus mampu menggunakan dan melakukan penelusuran sarana referensi dengan baik. Langkah sebaiknya didahului dengan pengajaran tertulis, dan bisa dalam fornat elektronik. Namun demikian masih perlu bantuan  pustakawan atau staf lain untuk  mengajari bagaimana memulai dan menelusur pangkalan data tertentu. Terutama jika masing-masing sumber elektronik mempunyai protokol yang berbeda
           
(ii)               Pengajaran kelompok
Pelayanan ini bergantung poda jenis kelompok peserta ajar dan  pengajaran  biasanya disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka. Di perpustakaan khusus seperti perpustakaan PDII-LIPI dilakukan jika ada pemustaka baru seperti perikrutan peneliti. Sering kali diadakan ketika menunjang kursus Metodologi Penelitian yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dengan topik umum, akan tetapi kemungkinan dialakukan dengan subjek tematik, bergantung disiplin ilmu para peserta kursus.
            Pada kasus perpustakaan sekolah perlu  mempertimbangkan bahwa pengajaran perpustakaan sebagai bagian penting dari pendidikan. Mereka bisa mengadakan formal maupun informal  utnuk mengajari murid menggunakan perpusakatan sehingga mereka bisa  memenuhi kebutuhan bacaannya sendiri. Beberapa pengetahuan dasar seperti bagaimana menggunakan OPAC, tentang bilangan persepuluhan Dewey, dan bagaimana menelusur informasi.





d)     Tingkat dan Metoda Pelatihan

Tujuan pelatihan haruslah spesifik dan dapat dijangkau dan disesuaikan dengan kelompok sasaran. Memang mudah untuk memasukkan berbagai material dalam satu pelatihan. Oleh karena itu kita perlu menyiapkan tujuan khusus untuk masing-masing sesi  dan  tetap mengikuti pada tujuan itu. Terlalu banyak informasi justru akan membingungkan.  Tidak semua materi bisa diberikan dalam satu atau dua sessi. Menyesuaikan kurikulum dengan tingkat peserta adalah penting. Kelas bisa dibagi menjadi tiga tingkat:

  1. Tingkat dasar diperuntukkan pemustaka yang hanya mempunyai sedikit atau tidak punya pengetahuan sama sekali tentang penelusuran berkomputer. Materi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka. Misalnya di perpustakaan umum yang menyelenggarakan kursus untuk para orang dewasa, berbeda dengan para mahasiswa baru di universitas.
  2. Tingkat lanjutan diperuntukkan para pemustaka yang sudah bisa dan pernah melakukan penelusuran. Kursus ini hanya untuk memperlancar saja. Pada tingkat ini perlu informasi lebih mendalam tentang strategi penelusuran, seperti memperluas antau mempersempit pencarian atau membuat format tercetak.
  3. Tingkat pelatihan subjek atau pangkalan data tertentu  diselenggarakan untuk mereka yang bekerja pada bidang tertentu. Dan memperlukan kemampuan untuk menelusur pangkalan data yang lebih canggih. Pemustaka harus diajari memilih sumber yang paling tepat untuk menelusur subjek tertentu, termasuk jurnal, dan publikasi non jurnal, informasi bibliografis, naskah penuh serta statistik. Thesaurus dan kosa kata terkendali yang digunakan dalam subjek, harus diulas, termasuk  perbedaan yang terdapat pada beberapa pangkalan data, terutama kedalaman dan  ruang lingkup pengindeksan mereka. Informasi tentang fitur khusus pangkalan data perlu diterangkan.

Selanjutnya adalah metoda pengajaran yang digunakan, yakni kuliah tunggal,  kursus dengan sessi formal,  presentasi audio visual melalui power point, video, audio, slide dan sejenisnya. Dengan mempertimbangkan keterlibatan peserta ajar,  dengan menerapkan latihan-latihan pembelajaran aktif,  seperti menjawab sejumlah pertanyaan dan brainstorming. Sessi interaktif semacam ini memberikan kesempatan belajar terbaik. Diskusi pemustaka merupakan hal yang penting dan harus dimasukkan kedalam metoda pengajaran jika memungkinkan, sehingga pemustaka belajar strategi penelusuran, bukan sekadar bagaimana menggunkan pangkalan data tertentu.
            Kuliah tunggal tidak hanya dirancang untuk memberikan pandangan, akan tetapi juga  berkenaan sumber-sumber subjek tertentu. Hanya informasi terbatas yang diberikan dalam kuliah. Contoh materi kuliah antara lain:
  • Pendahuluan
  • Demonstrasi oleh instruktur
  • Handouts
  • Waktu untuk menelusur dengan instruktur yang siap membantu
  • Review
  • Evaluasi

Pada kursus formal dengan beberapa sessi,  bahan yang memang dapat diajarkan oleh satu orang pengajar, namun lebih banyak akan lebih baik. Tujuan spesifik masing-masing sessi harus ditetapkan dengan jelan, Walaupun setiap sessi mempunyai beragam metoda pengajaran beberapa menggunakan diskusi, beberapa menggunakan video, ada pula yang menggunakan metoda lain. Dengan demikian, kelas akan menjadi menarik.
            Dalam kelas harus mempunyai satu komputer yang bisa dilihat ke seluruh peserta, jika tidak memungkinkan sebaiknya dipersiapkan powerpoint. Masing masing peserta sebaiknya memegang komputer untuk praktek, jika tidak satu komputer bisa digunakan dua atau tiga orang peserta.
            Handouts sangat membantu kelancaran kursus. Isinya bisa berupa garis besar materi, atau terminologi dan definisi , atau daftar perintah dan fitur , daftar pangkalan data dan contoh penelusuran  yang akan didiskusikan dalam kelas.
            Kita perlu mengevaluasi kursus yang kita selenggarakan untuk mengetahui bahwa kursus yang kita adakan itu  memenuhi kebutuhan  peserta yang ditargetkan.. Barangkali cara yang terbaik adalah membagikan formulir pada para peserta pada akhir pelatihan . Kita tanyakan pendapat peserta dengan meminta penilaian dari sekala 1 (sangat tidak setuju) sampai angka 5 (sangat setuju) pada pertanyaan-pertanyaan  berikut ini:
  1. Kursus membantu saya untuk lebih percaya diri menggunakan perpustakaan
  2. Sessi mengajarkan saya bagai mana memilih pangkalan data dengan lebih baik
  3. Sessi mengajarkan saya dasar-dasar strategi penelusuran
  4. Kursus ini adalah yang saya harapkan
  5. Handout mendukung apa yang telah saya pelajari
  6. Instruktur siap dan mumpuni

Kita juga bisa menambahkan pertanyaan terbuka seperti “Menurut anda apa yang perlu ditambahkan atau dikurangi dalam kursus ini? Apa yang sangat bermanfaat dan kurang bermanfaat dalam kursus ini, sehingga akan memberikan gagasan pada instruktur  untuk mengembangkan kursus itu di kemudian hari.

Tabel (?) nDari Bimbingan Bibliografis ke Literasi Informasi

Bimbingan Bibliografis
Literasi informasi
Tanggung Jawab/Kendali
Dikendalikan Pustakawan
Tanggung jawab bersama
Hubungan dengan kurikulum
External/bersinggungan
Integral
Penempatan dalam kurikulum
Pembelajaran tersendiri (Lokakarya, tidak terkait dengan kuliah dengan nilai kridit)
Pervasive dalam kurikulum (terkait dengan mata kuliah bernilai kridit, diperlukan kompetensi)
Fokus isi
Sarana, penelusuran antarmuka
Konsep, pemikiran kritis, proses, standar berfikir.
Metoda Pengajaran
Kendali Pustakawan/Pendekatan didaktik
Pustakawan/Dosen?guru berperan sebagai pemandu/fasilitator
Penilaian
Evaluasi terbatas, pengukuran berdasarkan ktrampilan.
Kompetensi, penggunaan standar
Kaitan dengan tempat
Fokus pada perpustakaan tertentu
Fokus pada dunia informasi yang tidak terbatas
Peran teknologi
Terbatas, penggunaaan dengan cara yang tidak luwes
Peran teknologi berkembang, beragam teknologi, dan teknologi sebagai  “poros”


  1. Kolaborasi Program Literasi Informasi
Literasi Informasi di dunia akademis sangat penting sehingga peran pustakawan dalam pencapaian misi belajar mengajar di perguruan tinggi menjadi penting. Oleh karena itu munculah upaya melibatkan kolaborasi pustakawan dan dosen untuk memperluas jangkauan pengajaran LI terhadap mahasiswa, karena program ini tidak cukup sekadar mengandalkan pelayanan referensi di perpustakaan akademis maupun universitas. Para penulis Arp, L. Woodard, BS. Lindstron.J. Shonrock, DD (2008), Anday, VG (2006), Purwanto (2005), dan Naibaho (2007) memaparkan bahwa pustakawan dapat mengambil peran dalam pengajaran LI bekerjasama dengan para pendidik yang idealnya menjadi pengguna effektif informasi, dan LI perlu menjadi bagian integral dalam kurikulum, karena pembelajaran LI itu merupakan proses yang berlanjut dan bertahap dan memainkan peran penting dalam keberhasilan seorang siswa, tidak hanya dalam bangku kuliah, melainkan untuk menerapkan pengetahuan dalam memaknai kehidupan mereka.
Perpustakaan akademis bereksperimen dengtan model pelayanan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan pelayanan yang berubah, termasuk jasa berjenjang, termasuk memisahkan pertanyaan tentang arah dan sederhana dengan pertanyaan yang mendalam dan sulit, menggunakan bantuan asisten pustakawan di meja referensi, mengadakan lokakarya, berkeliling memberikan bantuan, keluar dari perpustakaan ke kantin, ke kelas, dan memberikan bantuan lebih proaktif lagi.
Memang pustakawan bukan satu-satunya orang yang mengalami perubahan peran, namun peran sejawat, termasuk dosen dan staf di seluruh universitas juga berubah. Dalam hal ini mahasiwa akan menjadi peserta aktif dalam proses pendidikan dan mereka membuktikan telah bekerja dengan pustakawan dan dosen. Sebagai catatan, dosen mengatasi berberapa kendala perubahan teknologi dan upaya kolaborasi mereka meningkat. Bagi pustakawan, perubahan ini meningkatkan komunikasi, pelayanan dan kerjasama dalam memberikakan sumber. Pekerjaan mereka merancang dan menerapkan program berdasarkan kurikulum LI, akhirnya menetapkan kembali peran mereka sebagai pusat tuntuk misi universitas.
O’ Connor,LDan Newby, J (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan mengidentifikasi kebutuhan informasi dan memahami dasar penelusuran telah mendapatkan dasar yang kuat untuk mengumpulkan, menyaring, memilah dan proses konsolidasi. Sementara itu Wong (2010) menyatakan bahwa praktek pedagogi yang efektif adalah bahwa lembaga pendidikan tinggi harus mengembangkan pengalaman belajar mahasiswa dengan pengajaran perpustakaan sebagai  elemen utama pembelajaran dalam kehidupan kampus. Perpustakaan selalu dalam posisi  memberikan kontribusi pada kemajuan kehidupan intelektual mahasiswa. Dalam pengajaran LI, pustakawan harus merancang intervensi yang dapat mendorong untuk belacar yang tepat dan meningkatkan perkembangan mahasiswa.
Crawford dan Irving (2008) menawarkan suatu model untuk keterlibatan perpustakaan umum dan khusus dalam  LI dengan melihat kesuksesan proyek the Scottish Information Literady project diluar kerangka LI nasional terkait dengan pendidikan kedua dan ketiga dalam sebuah dokumen yang lebih inklusif mencakup perkembangan Literasi Informasi dari tahun pertama sampai ketrampilan di tempat kerja dan belajar sepanjang hayat,  parner strategi yang menarik dan kontak profesional dan kontak profesional di beberap sektor, termasuk perpustakan kesehatan, umum dan pemerintah serta pelayangn infomasi. Peran apa yang seharusnya dimainkan oleh pihak lain?

Staffing
Karena bimbingan Literasi Informasi cukup kompleks, perlu melibatkan profesional. Bunge dan Bopp (2001:19) menyatakan bahwa banyak praktisi melihat referensi sebagai pekerjaan yang harus dilakukan oleh pustakawan profesional. Walaupun sementara pustakawan menentang masuknya pihak lain dalam pekerjaan referensi, tetapi kebanyakan  justru menerima atau menyambut bantuan  dari paraprofesional, asisten, dan lainnya sebagai tanggapan pragmatis atas kemajuan teknologi dan kendala finansial dari kondisi saat ini. Jennerich dan Jennerich (1997:40) melaporkan bahwa paraprofesional sering bertugas di bagian referensi, namun Lessick (200) menggambarkan peran paraprofesioanal sebagai penyedia informasi dasar dan merujuk pada spesialis subjek untuk pelayanan konsultasi penelusuran.  Hinchliffe dan Woodard (2001) mencatat bahwa  banyak kategori staf dapat terlibat dalam memproduksi handout atau  memberi ceramah. McClennen dan Memmott (2001) memberi label kembali peran lingkungan referensi digital sebagai orang yang menyaring (mencakup rujukan dan menghimpun jawaban). Orang yang menberi jawaban,  adminitratur dan koordinator. Sayangnya hal ini menurut Thomsen (1999:43) sulit dilakukan  untuk  perpustakaan menghadapi  keterbatasan  dana.  .
Selama lembaga pendidikan tinggi mengakui arti penting LI, peran kolaborasi pustakawan meningkat. Intgrasi instruksi litersi informasi menjadi kunci keberhasilan pembelajaran mahasiswa, dan pustakawan menggunakan berbagai model kolaborasi pada tim dan sebagai co instruktur dalam kuliah, komunitas belajar, dan penggagas LI. Sekarang meningkatnya penekanan komponen  belajar mengajar dalam misi perpustakaan abad ke duapuluh satu. Dementara itu ada juga upaya kolaborasi yang melibatkan pustakawan dan dosen untuk menraih jumlah mahasiswa. Daripada menggantungkan meja referensi dan bimbingan  pemustaka  formal, pustakawan bekerja untuk mempromosikan kolaborasi dengan dosen dan unit kampus dalam upaya mengintegrasikan  LI ke dalam kurikulum.

  1. Integrasi dan Kolaborasi

Walaupun konsep kolaborasi antara pustakawan dan dosen itu bukan hal baru, komitmen untuk mgnggunakan pendekatan belum menjadi sebuah trend. Rader (1995) menjabarkan adanya tiga unsur yang  sangat berpengaruh pada keberhasilan integrasi perpustakaan dan ketrampilan riset (LI) kedalam kurikulum akademis:
  • Pihak perpustakaan  mempunyai  komitmen cukup lama untuk mengintegrasikan bimbingan pemustaka kedalam kurikulum.
  • Pustakawan dan dosen bekerja dalam pengembangan kurikulum dan  
  • Lembaga mempunyai komitmen tinggi untuk meningkatkan mutu mahasiswa dalam hal berfikir kritis, pemecalahan masalah dan ketrampilan informasi.


Perpustakaan adalah komponen penting untuk pembelajaran formal mahasiswa dan kebutuhan riset informal, dan bukan sekadar tambahan dalam perjalanan pendidikan seseorang.  Perpustkaan merupakan tempat menggali sumber informasi dan menjadi katalis dalam proses belajar mahasiswa. Oleh karena itu, konsep integrasi merupakan  unsur  penting dalam membuat program pengembangan perpustakaan yang aktif  bermitra  dengan pihak dosen atau jurusan untuk mengintegrasikan kurikulum.
            Untuk mengajari mahasiswa mendapatkan informasi, mengevaluasinya secara kritis dan menggunakan serta mengkomunikasikannya pihak pustakawan harus benar-benar siap untuk bekerja di kelas dengan dosen dalam memngajar mahasiswa menggunakan teknologi untuk mengakses informasi dan memanfaatkan pemikiran kritis dalam memilih informasi. Pustakawan perlu memahami fisi dan misi fakultas, berbagi jargon, definisi,  terminologi teknis, kerelaan untuk mempelajari aspek-aspek dari kepiawaian sejawat, dan kemampuan untuk menghargai perbedaan dan tidak mingkirik atau menyamaratakan profesional lain. Barangkali kolaborasi akan berhasil jika masing-masing pihak:
  • Menyamakan  tujuan
  • Saling menghargai, bertoleransi dan saling percaya
  • Kompetensi untuk menjalankan tugas masing masing, dan
  • Komunikasi

Kesadaran pustakawan dan akademisi semakin meningkat ketrampilan komunikasi dan riset (Literasi Informasi) semakin meningkat, dan ini menggerakkan mereka untuk berkolaborasi. Banyak perpustakaan perguruan tinggi berusaha untuk mempromosikan kolaborasi dengan mempunyai pustakawan spesialis subjek yang bertugas sebagai liason jurusan. Misalnya, mereka dapat mengontak dosen di fakultas dan mengembangkan hubungan yang diaharapkan akan mengarah pada kesempatan untuk pelatihan LI disiplin mereka. Tujuannya adalah membuat dosen dan pustakawan bersama-sama mengembangkan pembelajaran mahasiswa melalui kursus literai informasi secara teritegrasi. Apakah kolaborasi itu menghasilkan sesi pelatihan tunggal dengan waktu yang tertentu terkait dengan tugas, atau menjadi lebih terlibat dengan pengajaran tim, mereka mencapai tujuan dari LI teritegrasi dengan program akademis.
Dalam keadaan seperti ini agaknya konsep Bell dan Shank (2004) tentang  “blended Librarian” dapat diterapkan. Blended Librarian (secara harafiah berarti pustakawan terpadu) mereka definisikan sebagai pustakawan akademis yang menggabungkan sejumlah ketrampilan kepustakawanan tradisional dengan ketrampilan perangkat lunak  dan perangkat keras  dan perancang bimbingan atau pendidikan untuk  menerapkan teknologi secara tepat untuk proses belajar mengajar.
Sebagai mitra di kelas, pustakawan terpadu terlibat dalam melaksanakan kolaborasi dan integrasi  LI dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, idealnya pustakawan tetap memasukkan misi mengajar universitas dengan basis kuliah. Selanjutnya pustakawan  perlu   membuktikan  posisi  mereka dalam struktur kurikulum universitas, dan seperti yang dikatakan Bell dan Sank dalam artikel mereka “Blended Librarian” dan ini bisa terjadi bila pustakawan memahami pedagogi dan menggunakan prinsip rancangan instruksional, teori dan praktek. Pustakawan dan administrator perlu terus membangun dan memelihara hubungan seluruh kampus, karena mereka tidak pernah tahu kapan kesempatan kolaborasi dan integrasi akan muncul dengan sendirinya. Konsekwensi ini didukung Rockman (2004), karena LI adalah   pedagogi menjadi agen perubahan untuk belajar. Hanya dengan bekerja bersama pemangku kepentingan pendidikan dan diluar kampus tujuan LI dapat diterima.
Pelayanan referensi dan pengajaran Literasi Informasi telah ditransformasikan oleh kemajuan teknologi, perubahan sosial dan perkembangan pendidikan. Meja referensi mendapatkan mobilitas dan ada dimana mana, menjangkau pemustaka di daerah baru, baik secara fisik maupun maya. Pada tingkat operasi, peran profesional dan para profesional telah berubah, dengan praktisi spesialis diharapkan menunjukkan tingkat spesialisasi yang tinggi muncul untuk dunia digital dimana batasan lintas fungsi.
Riset menunjukkan bahwa peran pengajaran di pelayanan referensi diakui secara  universal dan tetap mengutamakan tatap muka dan transaksi referensi digital, tetapi sering tidak dinyatkan  dalam kebijakan dan rencana formal, terutama yang berkaitan dengan  prioritas. Padahal ini  memberi kemudahan belajar sepanjang hayat dalam masyarakat.

Referensi
AASL (1998) Information Power: Building Partnerships for Learning, available at http://www.ala.org/aasl/aaslpubsandjournals/slmrb/editorschoiceb/infopower/informationpower
ACRL (2004) Information Literacy Competency Standards for Higher Education, http://www.ala.org/ala/mgrps/divs/acrl/standards/informationliteracycompetency.cfm
ALA (1989) Presidential Committee on Information Literacy: Final Report, Chicago, IL:
                        merican Library Association [Available at:
Andai, AG (2006) The Role of Libraries and Librarians in Information Literacy — Presentation Transcript, Paper presented during the PLAI-STRLC Regional Conference on Promoting Information Literacy for Lifelong Learning, September 25, 2006 at Capuchin Retreat Center, Lipa City, Batangas
Arp, L. Woodard, BS. Lindstron.J. Shonrock, DD (2008) Faculty-Librarian Collaboration to Achieve Integration of Information Literacy, Jan 5th, 2008 RUSQ  available at http://www.rusq.org/2008/01/05/faculty-librarian-collaboration-to-achieve-integration-of-information-literacy/
Bachtar,  M A ., Purnomowati, S., Arifah, S.(2007)  Literasi Informasi Tenaga Pendidik Dan Kependidikan Pendidikan Non Formal Di Propinsi DKI Jakarta Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI.
Bell, S., and Shangk, J (2004) The blended librarian: A blue print or redefining the eaching and learning role of academic librarians ,372 / C&RL News , July/August 2004 available at http://crln.acrl.org/content/65/7/372.full.pdf
Catts,  R (2010) UNESCO Information Literacy Indicators: Validation Report  University of Stirling  United Kingdom, available at http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CI/CI/pdf/information_literacy_indicators_validation_report_ralph_catts_en.pdf  
Corrall, S (2010) Developing Inclusive Models of Reference and Instruction to Create Information Literate Communities WORLD LIBRARY AND INFORMATION CONGRESS: 76TH IFLA GENERAL CONFERENCE AND ASSEMBLY 10-15 August 2010,Gothenburg, Sweden  available at http://www.ifla.org/files/hq/papers/ifla76/74-corrall-en.pdf
Crawford, J. and Irving, C. (2008) ‘Going beyond the “library”: the current work of the
Scottish Information Literacy Project’, Library and Information Research, 32 (102), 29-37 [Available at: http://www.lirg.org.uk/lir/ojs/index.php/lir/article/viewFile/89/125].
Hinchliffe, L.J. and Woodard, B.S. (2001) ‘Instruction’, in Bopp, R.E. and Smith, L.C.
(eds) Reference and Information Services, 3rd ed, pp. 177-209.Englewood,  CO:Libraries Unlimited.
Jennerich, E.Z. and Jennerich, E.J. (1997) The Reference Interview as a Creative Art,2nd ed. Englewood, CO: Libraries Unlimited.
Kapoun, J (2000) Assessing Library Instruction Assessment Activities Library Philosophy and Practice Vol. 7, No. 1 (Fall 2004) available at http://www.webpages.uidaho.edu/~mbolin/kapoun2.pdf
Kirton, J. and Barham, L. (2005) ‘Information literacy in the workplace’, Australian Library Journal, 54 (4), 365-376. [Available at:http://alia.org.au/publishing/alj/54.4/full.text/kirton.barham.html].
Lessick, S. (2000) ‘Transforming reference staffing for the digital library’, in Lankes,R.D., Collins, J.W. and Kasowitz, A.S. (eds), Digital Reference Service in the NewMillennium: Planning, Management, and Evaluation, pp. 25-36, New York: Neal Schuman.
Lorenzen, M (2002) Encouraging Community in Library Instruction: A Jigsaw Experiment in a University Library Skills Classroom available at http://www.libraryinstruction.com/jigsaw.html
Mbabu, L. (2009) ‘LIS curricula introducing information literacy courses alongsideinstructional classes’, Journal of Education for Library and Information Science, 50 (3), 203-210.
McClennen & Memmott (2001) ‘Roles in digital reference’, Information Technologyand Libraries, 20 (3), 143-148 [Available at: http://www.ala.org/ala/mgrps/divs/lita/ital/2003mcclennen.cfm].
Naibaho,  K. (2007) Berbagai Alternatif Solusi bagi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Visi Pustaka. Juni 2007 tersedia di http://staff.blog.ui.ac.id/clara/2011/01/06/menciptakan-generasi-literat-melalui-perpustakaan/
O’ Connor, L.  Newby, J (2011) Entering Unfamiliar Territory: Building an Information Literacy Course for Graduate Students in Interdisciplinary Areas Apr 3rd, 2011  RUSQ. Available at http://www.rusq.org/2011/04/03/entering-unfamiliar-territory-building-an-information-literacy-course-for-graduate-students-in-interdisciplinary-areas/
PRLOG (2009) President Obama Proclaims October National Information Literacy Awareness Month, available at http://www.prlog.org/10370571-president-obama-proclaims-october-national-information-literacy-awareness-month.html
Purwanto (2005), Lifelong Learning and Information Literacy , “Lifelong Learning and Information Literacy” -Seventh Programming Cycle of APEID Activities  - 5 September - 9 September 2005 Tokyo, Japan http://gauge.u-gakugei.ac.jp/apeid/apeid05/CountryPapers/indonesia.pdf
Rockman, IF. (2004) Introduction: The Importanceof Information Literacycintro.qxd 3/3/04 available at [http://media.wiley.com/product_data/excerpt/78/07879652/0787965278.pdf].
SCONUL (2011) The Seven Pillars of Information Literacy model: Core Model for Higher Education, available at http://www.sconul.ac.uk/groups/information_literacy/publications/coremodel.pdf
Sinclair, B. (2009) ‘The blended librarian in the learning commons: new skills for the
blended library’, College & Research Libraries News, 70 (9), 504-507, 516 [Available
at:
http://www.ala.org/ala/mgrps/divs/acrl/publications/crlnews/2009/oct/blended_libraria
n.cfm].
Thomsen, E. (1999) Rethinking Reference: The Reference Librarian’s Practical Guide
for Surviving Constant Change, New York: Neal-Schuman.

Wong, Gabrielle K. W. Facilitating Students’ Intellectual Growth in Information Literacy Teaching Dec 29th, 2010  RUSQ.
Williams, Helene and Zald, Anne (1997)  "Redefining roles: librarians as partners in information literacy education"  Information Research, 3(1) Available at: http://informationr.net/ir/3-1/paper24.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar