Rabu, 01 Agustus 2012

Beranikah Kita Menyediakan Pelayanan Referensi Maya?


Munculnya Web 2.0 berdampak pada perubahan pelayanan referensi secara signifikan, terutama pada perilaku pustakawan dan pemustaka dalam mengakses dan menyebarkan informasi[1]. Dalam menerapkan pola pelayanan 2.0 ini pemustaka dan pustakawan berpeluang memainkan peran yang sama yaitu sebagai penyedia informasi, misalnya mengunggah karya-karyanya ke blog, atau Open Access Repository, masing-masing. Lagi pula salah satu tugas pustakawan referensi adalah memberikan nilai tambah pelayanan dengan membuat produk kemas ulang referensi[2] yang pada akhirnya akan digunakan pemustaka. Dalam suatu kesempatan, pustakawan mungkin akan merujuk unggahan pemustaka. Namun, pustakawan dalam melakukan pelayanan referensi tetap memainkan perannya sebagai manager informasi  dan memberikan pelayanan informasi terbaik. Pola pelayanan yang mengutamakan interaktif ini mendorong pemustaka mengasah kompetensi profesi, terutama pada penguasaan koleksi referensi digital dan memperlancar akses terhadap informasi.
Beberapa perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan khusus di Indonesia telah mencoba melakukan pelayanan referensi maya, namun masih dilakukan dengan coba-coba dan efektivitas belum terukur. Kegiatan ini dilakukan secara pribadi oleh pustakawan dengan menggunakan software gratis, ada juga yang menggunakan paket social network. Namun saya belum melihat munculnya pelayanan referensi secara formal dengan dukungan pembuat keputusan di sebuah perpustakaan. Kasus seperti ini barang kali terkait dengan banyak hal, terutama dukungan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dan masalah teknis yang mengikutinya. Memang saya sampai saat ini masih merasakan adanya pro dan kontra seperti yang diungkapkan oleh Kern (2009) bahwa masih banyak perimbangan internal terkait dengan biaya operasional tambahan seperti staf dan pemilihan dan pengadaan software. Mungkin juga muncul resistensi para staf terhadap pelayanan “baru” ini, juga pelayanan referesi maya ini belum dianggap mendesak bagi sebuah perpustakaan. Padahal, pelayanan referensi maya itu akan menjangkau pemustaka pengguna online, terutama para generasi X dan Y yakni orang muda Indonesia (berusaia antara 15 – 39 tahun) saat ini mendominasi pektrum demografis Indonesia. Generasi ini dikenal sebagai kaum millennial, generasi digital, atau disebut juga Echo Boom generation dilahirkan pada kurun 1980-2001, yang saat ini sedang berada di sekolah, universitas dan menginjak dewasa. Mereka inilah yang kemungkinan menjadi  pemustaka potensial pelayanan referensi maya. Siapa tahu penyediaan referensi maya akan lebih efektif, karena mereka pengguna teknologi mobile (smarphone) terbesar. Bahkan tidak menutup kemungkinan likasi untuk pelayanan perpustakaan yang lain.
Namun, tidak ada salahnya jika perpustakaan mencoba pelayanan referensi maya, toh prosedur dan proses pelayanannya tidak jauh berbeda dengan referensi konvensional, sedangkan pelayanan maya dengan format Immidiate Massage (IM) atau program Chat  misalnya LibraryH3lp seperti yang diulas oleh Sessoms  and Sessoms (2008) sangat nyaman bagi generasi millenial. Cara menyapa pemustaka tidak  jauh berbeda dengan referensi biasa, kita juga masih menggunakan pertanyaan tertutup dan terbuka, cara-cara untuk memastikan bahwa pemustaka  juga sama. Apa lagi memberikan tindak lanjut atau merujuk ke perpustakaan atau lokasi yang tepat, menggunakan cara yang tidak jauh berbeda. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika kita mencoba program multiple network seperti Trillian, Gaim ,  Pidgin Fire atau Meebo hampir semua open source. Hampir semua pustakawan referensi mengenal pesin pencari google, dan  kita perlu mencoba Google SMS atau tidak ada salahnya jika kita coba Text A Librarian - SMS Reference Services,  yang memang disediakan untuk mendukung tugas pustakawan referensi.
Seyogyanya para pejabat perpustakaan di semua tingkat mempunyai komitmen kuat untuk mendukung pelayanan referensi maya, karena hanya dengan komitmenlah sebuah pelayanan baru akan terwujud. Mungkin pelayanan akan lebih bermanfaat para pembuat keputusan di perpustakaan perlu memberikan kemudahan untuk evaluasi secara periodik, agar kemajuan pelayanan dapat terpantau dan senantiasa dikembangkan. Beranikah?
Referensi
Kern, M. K. (2009). Virtual reference best practices: Tailoring services to your library. Chicago: American Library Association. P.7-9
Sessoms, P and Sessoms, E (2008)LibraryH3lp: A New Flexible Chat Reference System Code{4}Lib Journal (4) http://journal.code4lib.org/articles/107 diakses 1 Agustus 2012


[1] Lihat pola pelayanan referensi di  http://irs-reference.blogspot.com/2011/09/proses-referensi-berawal-dari-senyuman_16.html
[2] Lihat http://rosawidyawan.wordpress.com/2012/03/17/kemas-ulang-informasi-membuat-informasi-mejadi-lebih-seksi/

4 komentar:

  1. siplah, aku dukung sepenuhnya idemu ini.
    sampai sejauh ini referensi maya masih dianggap sebagai referensi kelas dua, ini karena sifatnya yang labil, beda dengan referensi konvensional.
    kalau lembaga perpustakaan mau memulai referensi maya, saya pikir ini sebuah loncatan model layanan informasi yang sangat baik.

    kenapa tidak kamu coba rintis di pdii, wan?

    salam kangen
    wees

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kami telah mencoba dengan social networks dan open source.Mungkin perlu sosialisasi dan persiapan lebih matang. Sering-sering mampir ke halaman web kami.
      Salam.

      Hapus
  2. Keberhasilan pelayanan terletak pd keandalan muatan
    layanannya. Ini perlu penyiapan SDM yg ok. Standard mutu dan aspek etika bisa jadi sesuatu yg perlu digarap baik-baik. Tk. Amru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya setuju Doc, kami pustakawan perlu mengasah kompetensi terutama penguasan sumber referensi dan kepiawaian dalam wawancara maya. Masalah etika adalah keprihatinan utama kami. Kita menyaksikan orang (baik generasi X, Y, maupun Babyboom)masih belum menghargai nilai finansial maupun legal dari informasi. Rupanya kita perlu belajar menyampaikan informasi secara beretika. Kita juga menyaksikan anak-anak kita sekadar "mengklik" informasi, tidak menyimaknya. Sudah saatnya kita senantiasa mengkampanyekan litersi informasi.
      Salam hormat.

      Hapus