Munculnya Web 2.0
berdampak pada perubahan pelayanan referensi secara signifikan, terutama pada
perilaku pustakawan dan pemustaka dalam mengakses dan menyebarkan informasi[1].
Dalam menerapkan pola pelayanan 2.0 ini pemustaka dan pustakawan berpeluang memainkan
peran yang sama yaitu sebagai penyedia informasi, misalnya mengunggah
karya-karyanya ke blog, atau Open Access
Repository, masing-masing. Lagi pula salah satu tugas pustakawan referensi
adalah memberikan nilai tambah pelayanan dengan membuat produk kemas ulang
referensi[2]
yang pada akhirnya akan digunakan pemustaka. Dalam suatu kesempatan, pustakawan
mungkin akan merujuk unggahan pemustaka. Namun, pustakawan dalam melakukan
pelayanan referensi tetap memainkan perannya sebagai manager informasi dan memberikan pelayanan informasi terbaik. Pola
pelayanan yang mengutamakan interaktif ini mendorong pemustaka mengasah
kompetensi profesi, terutama pada penguasaan koleksi referensi digital dan
memperlancar akses terhadap informasi.
Beberapa
perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan khusus di Indonesia telah
mencoba melakukan pelayanan referensi maya, namun masih dilakukan dengan
coba-coba dan efektivitas belum terukur. Kegiatan ini dilakukan secara pribadi
oleh pustakawan dengan menggunakan software gratis, ada juga yang menggunakan
paket social network. Namun saya belum
melihat munculnya pelayanan referensi secara formal dengan dukungan pembuat
keputusan di sebuah perpustakaan. Kasus seperti ini barang kali terkait dengan
banyak hal, terutama dukungan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dan
masalah teknis yang mengikutinya. Memang saya sampai saat ini masih merasakan
adanya pro dan kontra seperti yang diungkapkan oleh Kern (2009) bahwa masih
banyak perimbangan internal terkait dengan biaya operasional tambahan seperti
staf dan pemilihan dan pengadaan software. Mungkin juga muncul resistensi para
staf terhadap pelayanan “baru” ini, juga pelayanan referesi maya ini belum
dianggap mendesak bagi sebuah perpustakaan. Padahal, pelayanan referensi maya
itu akan menjangkau pemustaka pengguna online, terutama para generasi X dan Y
yakni orang muda Indonesia (berusaia antara 15 – 39 tahun) saat
ini mendominasi pektrum demografis Indonesia. Generasi ini dikenal
sebagai kaum millennial, generasi
digital, atau disebut juga Echo Boom
generation dilahirkan pada kurun 1980-2001, yang saat ini sedang berada di
sekolah, universitas dan menginjak dewasa. Mereka inilah yang kemungkinan menjadi pemustaka potensial pelayanan referensi maya.
Siapa tahu penyediaan referensi maya akan lebih efektif, karena mereka pengguna
teknologi mobile (smarphone) terbesar. Bahkan tidak menutup kemungkinan likasi
untuk pelayanan perpustakaan yang lain.
Namun, tidak ada salahnya jika
perpustakaan mencoba pelayanan referensi maya, toh prosedur dan proses
pelayanannya tidak jauh berbeda dengan referensi konvensional, sedangkan
pelayanan maya dengan format Immidiate
Massage (IM) atau program Chat misalnya LibraryH3lp seperti yang diulas oleh
Sessoms and Sessoms (2008) sangat nyaman
bagi generasi millenial. Cara menyapa pemustaka tidak jauh berbeda dengan referensi biasa, kita
juga masih menggunakan pertanyaan tertutup dan terbuka, cara-cara untuk
memastikan bahwa pemustaka juga sama.
Apa lagi memberikan tindak lanjut atau merujuk ke perpustakaan atau lokasi yang
tepat, menggunakan cara yang tidak jauh berbeda. Oleh karena itu tidak ada
salahnya jika kita mencoba program multiple network seperti Trillian, Gaim , Pidgin Fire
atau Meebo hampir semua open source. Hampir semua pustakawan referensi mengenal pesin
pencari google, dan kita perlu mencoba Google SMS atau tidak ada salahnya jika
kita coba Text A Librarian - SMS Reference Services,
yang
memang disediakan untuk mendukung tugas pustakawan referensi.
Seyogyanya para pejabat perpustakaan
di semua tingkat mempunyai komitmen kuat untuk mendukung pelayanan referensi
maya, karena hanya dengan komitmenlah sebuah pelayanan baru akan terwujud.
Mungkin pelayanan akan lebih bermanfaat para pembuat keputusan di perpustakaan
perlu memberikan kemudahan untuk evaluasi secara periodik, agar kemajuan
pelayanan dapat terpantau dan senantiasa dikembangkan. Beranikah?
Referensi
Kern, M.
K. (2009). Virtual reference best practices: Tailoring services to your
library. Chicago: American Library Association. P.7-9
Sessoms, P
and Sessoms, E (2008)LibraryH3lp: A New Flexible Chat Reference System Code{4}Lib Journal (4) http://journal.code4lib.org/articles/107
diakses 1 Agustus 2012
siplah, aku dukung sepenuhnya idemu ini.
BalasHapussampai sejauh ini referensi maya masih dianggap sebagai referensi kelas dua, ini karena sifatnya yang labil, beda dengan referensi konvensional.
kalau lembaga perpustakaan mau memulai referensi maya, saya pikir ini sebuah loncatan model layanan informasi yang sangat baik.
kenapa tidak kamu coba rintis di pdii, wan?
salam kangen
wees
Kami telah mencoba dengan social networks dan open source.Mungkin perlu sosialisasi dan persiapan lebih matang. Sering-sering mampir ke halaman web kami.
HapusSalam.
Keberhasilan pelayanan terletak pd keandalan muatan
BalasHapuslayanannya. Ini perlu penyiapan SDM yg ok. Standard mutu dan aspek etika bisa jadi sesuatu yg perlu digarap baik-baik. Tk. Amru
Saya setuju Doc, kami pustakawan perlu mengasah kompetensi terutama penguasan sumber referensi dan kepiawaian dalam wawancara maya. Masalah etika adalah keprihatinan utama kami. Kita menyaksikan orang (baik generasi X, Y, maupun Babyboom)masih belum menghargai nilai finansial maupun legal dari informasi. Rupanya kita perlu belajar menyampaikan informasi secara beretika. Kita juga menyaksikan anak-anak kita sekadar "mengklik" informasi, tidak menyimaknya. Sudah saatnya kita senantiasa mengkampanyekan litersi informasi.
HapusSalam hormat.